27 April 2016

Majelis Ilmu Sabtu Dhuha 23 April 2016 KH Gus Arifin Kajian Fiqih Thaharah 4 Mahzab

Event : Majelis Ilmu Sabtu Dhuha
Tanggal : 23 April 2016
Pemateri : KH Gus Arifin
Tema : Kajian Fiqih Thaharah 4 Mahzab

Ayat yang berkaitan dengan thaharah
Qs al Maidah : 6
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci) usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur

Adab membaca Al Quran diawali dengan Ta'awudz
Qs An Nahl : 98
Apabila kamu membaca al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.

Macam-macam Najis

Najis terbagi menjadi 3 jenis :

1. Najis mugholadhoh (Najis Berat)
Najis mugholadoh adalah Najis pada Hewan anjing dan Babi, liurnya,ingusnya, keringatnya, dan apa-apa yang dijadikan/dilahirkan dari anjing dan babi atau dari salah satu dari keduanya, meskipun dari hewan yang suci (maksudnya disini anjing dan baai diternakkan dengan hewan lain). cara menghilangkan najis mugholadhoh yaitu dengan cara membasuh pada bagian yang terkena najis tujuh kali dengan air yang suci salah satu dari ketujuh basuhan dengan menggunakan debu yang suci setelah wujud dari najis tersebut hilang.

2. mukhoffafah (Najis ringan)
Najis mukhoffafah adalah Najis karena kencingnya anak-anak yang masih minum air susu ibunya, dan belum berumur 2 tahun. Cara menghilangkan najis mukhoffafah yaitu dengan menyiramnya dengan air pada tempat yang terkena najis.

3. Mutawasitoh (Najis Sedang)
Najis mutawasitoh terbagi menjadi dua :
a. Najis hukmiyyah (dihukumi najis tetapi wujudnya tidak ada) adalah najis yang tidak ada bendanya/Wujudnya, rasanya, warnanya, dan baunya seperti kencingnya selain anak-anak yang sudah keringdan tidak tampak sifat-sifat najisnya. cara menghilangkan najis yang bersifat hukmiyahdibasuh dengan air meskipun hanya satu kali.
b. Najis ‘ainiyyah(najis yang memang ada wujudnya) adalah nais yang ada bendanya/wujudnya, rasanya, warnya, atau baunya seperti kotoran orang, kotoran hewan, darah, nanah, sesuatu yang dikeluarkan pada saat muntah, barang yang memabukkan, madhi, wadhi, semua bangkai (kecuali manusia ikan dan belalang), susunya hewan yang tidak bisa dimakan (kecuali susunya manusia), dan sesuatu yang pisah dari hewan yang hidup (kecuali manusia, ikan dan belalang). Cara menghilangkan najis yang bersifat ‘ainiyyah dibasuh tempat najis dengan air sehingga hilanglah rasanya najis, baunya, dan warnya
https://mihwanuddin.wordpress.com/2011/05/06/macam-macam-najis-dan-cara-menghilangkannya/

Macam-macam air dan pembagiannya :

1. Air yang suci dan mensucikan
Air ini ialah air yang boleh diminum dan dipake untuk menyucikan(membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang yang masih murni yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap belum berubah keadaannya, seperti air hujan air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata air. Allah berfirman Al-Anfal :11
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya’suci menyucikan’. Walaupun perubahan itu terjadi salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna, rasa dan baunya) adalah sebagai berikut:

1. Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
2. Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
3. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah karena ikan atau kiambang.
4. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga berubah yang sukar memeliharanya misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air yang lainnya.

2. Air suci tetapi tidak menyucikan
Zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam kategori ini ada tiga macam air :

a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan sesuatu benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas seperti air teh, air kopi, dan sebagainya.
b. Air sedikit kurang dari dua kulah (tempatnya persegi panjang yang mana panjangnya, lebarnya, dalamnya 1 1/4 hasta. Kalau tempatnya bundar maka garis tengahnya 1 hasta, dalam 2 ¼ hasta, dan keliling 3 1/7hasta) sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan hukum najis. Sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.

3. Air yang bernajis
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam :
a. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik airnya sedikit atau banyak, sebab hukumnya seperti najis.
b. Air bernajis tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit- berarti urang dari dua kulah tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan najis. Kalau air itu banyak berarti dua kulah atau lebih, hukumnya tetap suci dan menyucikan. Rasulullah bersabda Saw : Air itu tidak dinajisi sesuatu, kecuali apbila berubah rasa, wana atau baunya.”(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi). Dalam hadist lain Rasul Saw: ‘Apabila air cukup dua kulah, tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun (Riwayat oleh lima ahli hadist)

4. Air yang makruh
Yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan. Tetapi tidak makruh untuk pakaian kecuali air yang terjemur di tanah, seperi air sawah, air kolam, dan tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.. Sabda Rasulullah Saw. Dari Aisyah, Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari. Maka Rasulullah Saw Berkata kepadanya Jangan engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu akan menimbulkan sopak (Riwayat Baihaqi)
https://adikembar.wordpress.com/tadzkirah/athaharah/macam-macam-air-dan-pembagiannya/

Fiqih Thaharah 4 Madzhab Mandi Janabah

Bersuci‬, Arti thaharah menurut bahasa adalah bersih dan suci dari segala hal yang kotor, baik yang bersifat khissiyah

Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri. (QS Al Baqarah (2):222)

Hadits:
‫Dari Shalih bin Abi Hassan berkata, aku mendengar Sa’id bin Musayyib berkata (dari Nabi) : "Sesungguhnya Allah itu bersih dan menyukai kebersihan". (HR At-Tirmidzi)

Dalam Hadits shahih Dari lbnu Abbas ‫bahwa Rasulullah apabila menjenguk orang sakit "Tidak apa-apa, insya Allah, penyakit itu mensucikan". (HR. Bukhari)

Kata thahur seperti wazan fathur, yang berarti mensucikan dari dosa-dosa. Maka Nabi bersabda: "Sesungguhnya penyakit itu mensucikan dari dosa-dosa". Dosa-dosa itu adalah bentuk kotoran yang bersifat ma'nawi. Lawan dari thahârah adalah najasah (najis).
Adapun arti najis dalam bahasa adalah segala sesuatu yang kotor, baik yang bersifat hissiyah atau ma'nawiyah. Maka dikatakan bahwa dosa itu najis walaupun bersifat ma'nawi

Bentuk fi'il madhi-nya adalah :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini. (QS. At Taubat (9) : 28

Maksudnya : jiwa musyrikin itu dianggap kotor, karena menyekutukan Allah .
Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. Menurut Pendapat sebagian mufassirin yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.
Maksudnya setelah tahun 9 Hijrah.

Najis ma'nawiyah ialah Najis yang menodai aqidah dan tak dapat di-indera atau dilihat oleh mata manusia, seperti Syirik dan Kufur. Oleh karenanya, orang musyrik tidak boleh masuk dan menetap di dalam masjid karena mereka najis kecuali bila telah masuk Islam.

Najis hissiyah ialah Najis yang dapat dilihat oleh mata manusia dan dirasa oleh panca indera, seperti jilatan anjing, kotoran manusia atau hewan, air kencing, darah haid dan nifas, madzi dan wadi. Pembagian Hadats, Naji, dibahas terpisah dari Materi ini
Menurut istilah adalah Orang yang wajib atasnya mandi sebab keluarnya manî karena jima’, mimpi basah (ihtilam) atau karena sebab lain.

Mandi Janabah
Apabila kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah. . QS Al-Ma’ idah (5) : 6

Hal-hal yang menyebabkan hadats besar dan mengharuskan mandi junub ada 6 (enam):
1. Senggama (jima’ ) yaitu masuknya seluruh hasyafah (gland penis/kepala dzakar) ke
dalam farji. Kalau seluruh hasyafah ghaib (masuk), maka wajib mandi, walaupun tidak
mengeluarkan mani.
2. Keluar sperma (mani)
3. Mati
4. Haid
5. Nifas
6. Melahirkan

Syarat Mandi Janabah
Harus memakai air yang suci dan mensucikan yaitu air yang tidak najis dan belum pernah dipakai untuk mandi junub atau berwudhu.

Perbedaan antara mani, madzi dan wadi :
Mani : cairan putih keluar dengan tersendat-sendat disertai syahwat serta menyebabkan loyo setelah keluarnya.
Hukumnya : suci dan wajib mandi.

Ciri-ciri mani ada 3 (tiga), yaitu :
1. Tadaffuq (keluarnya melonjak-lonjak)
2. Taladdzudz (keluarnya berasa nikmat) yaitu disertai syahwat
3. Bau tepung, seperti adonan/pasta saat basah, seperti putih telur saat kering.
Jika didapatkan salah satu dari tiga ciri di atas, maka disebut mani. Jika semua ciri itu tidak ditemukan maka bukan mani. Misal keluarnya nikmat tetapi berbentuk darah maka ia tetap dihukumi mani. Hal ini berlaku pada laki-laki dan perempuan.

‫Ciri-ciri keluarnya air Mani (sperma): Keluarnya secara muncrat berdasarkan firman Allah “Dari air yang muncrat/sperma”. Keluarnya disertai rasa nikmat (walaupun mungkin tidak harus disertai muncrat saking sedikitnya yang keluar, dan lazimnya disertai dengan kehangatan batang kemaluan serta memuncaknya birahi. Berbau seperti adonan roti atau serbuk kurma Baik mani tersebut keluarnya basah atau berwarna putih kering meskipun tidak disertai muncrat atau kelezatan saat keluarnya seperti sisa-sisa sperma yang keluar setelah mandi besar. Bila ditemukan salah satu ciri diatas maka sudah cukup menghukumi
keberedaan ‘sperma’ atas cairan yang dikeluarkan oleh seseorang sebab ciri diatas tidak terdapati pada cairan selain mani.
Tidak berpengaruh pada sperma seorang pria akan kekentalan dan warna putihnya. Sperma Wanita dalam ciri-ciri diatas tidak menyalahi (berbeda) dengan sperma pria. Bila tidak terdapati ciri-ciri diatas maka tidak diwajibkan seseorang mandi besar
karena cairan yang keluar dapat dipastikan bukanlah sperma.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi hadas." Ummu Sulaim berkata, "Aku malu untuk bertanya perkara tersebut". Ummu Sulaim bertanya, "Apakah perkara ini berlaku pada perempuan?" Nabi bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan?. Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya." ‬

“Dari Ummu Salamah – istri Nabi -, ia berkata, “Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dengan kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi bila ihtilam (mimpi basah)?” Maka Rasulullah menjawab: “Ya. Jika dia melihat air.” [HR. Al Bukhari – Muslim]

Madzi adalah cairan putih lembut dan licin keluar pada permulaan bergejolaknya syahwat. Istilah madzi untuk laki-laki, namun jika keluar dari perempuan dinamakan Qudza. Dalam salah satu riwayat yang shahih disebutkan : Dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata : ”Aku adalah orang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah karena kedudukan putrinya (Fatimah) yang menjadi istriku. Akupun meminta al-Miqdad Ibnu al-Aswad untuk menanyakan kepada Rasulullah , Beliau menjawab : “Seharusnya ia mencuci kemaluannya dan berwudhu" HR. Bukhari no.178 dan Muslim no.303. Lafadz ini adalah lafadz Muslim
Hukumnya: najis dan membatalkan wudlu tapi tidak wajib mandi.

Wadi : cairan putih keruh dan kental, keluar setelah melaksanakan kencing atau ketika mengangkat beban berat. Hukumnya seperti madzi yaitu najis dan membatalkan wudlu’ tapi tidak wajib mandi.

Kesimpulan :
# Jika cairan keluar mengandung salah satu ciri-ciri mani, maka dihukumi mani. Namun jika tidak ada dan keluarnya pada mulai gejolaknya syahwat atau sesudah syahwat, maka dihukumi madzi.
# Jika ragu yang keluar mani atau madzi?, maka boleh memilih antara menjadikannya mani sehingga wajib mandi, atau menjadikannya madzi sehingga hukumnya najis, tidak wajib mandi namun batal wudhu’nya. Paling afdholnya menggabung keduanya yaitu mandi janabah dan menyucikan tempat yang terkena cairan tersebut.
# Wanita juga mengeluarkan manî dengan ciri-ciri sebagaimana di atas. Namun menurut imam Al-Ghazali, mani wanita hanya bercirikan keluar disertai syahwat (kenikmatan)

Ruthubah
Cairan yang keluar dari Farji Wanita tanpa adanya sebab , selain Mani, Madzi, Air kencing hukum cairan lembab yang keluar dari kemaluan seorang wanita (ruthubah). Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukum cairan tersebut itu suci, sedangkan Madzhab Maliki
memandangnya sebagai sesuatu yang najis. Dua Madzhab selanjutnya, yakni As-Syafi’iyah dan Hanbali, para ulama dari dua madzhab
ini berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa ruthûbah yang keluar dari farji seorang wanita itu suci, dan sebagian yang mengatakan najis atau tidak suci. Walaupun dalam kedua madzhab ini dijelaskan bahwa pendapat resmi yang paling kuat menyatakan
bahwa itu suci dan tidak najis.

Tata Cara Mandi Janabah
Membaca Bismillah dan ber-niat mandi untuk menghilangkan hadats besar

Niat Mandi Wajib (Janabah)
Pada dasarnya "niat mandi untuk menghilangkan hadas besar" sudah cukup. Berikut adalah niat yang lengkap sesuai penyebabnya.
1. Hadas besar karena Jima’/mimpi basah:
Saya niat mandi junub untuk menghilangkan hadas besar (dari Janâbah ) karena Allah Ta‘ala.
2. Hadas besar karena haidl:
Saya niat mandi junub untuk menghilangkan hadas besar dari haidl karena Allah Ta‘ala.
3. Hadas besar kerena nifas
Saya niat mandi junub untuk menghilangkan hadas besar dari nifâs karena Allah Ta‘ala.
4. Hadas besar kerna melahirkan (wiladah)
Saya niat mandi junub untuk menghilangkan hadas besar karena melahirkan karena Allah Ta‘ala.

Mencuci kedua tangan dengan air, Mencuci qubul (alat kelamin) dan dubur, Berwudhu’ sebagaimana wudhu’nya shalat , Mengusap kepala dan menyela-nyela rambut hingga ke pangkalnya dengan air secara merata, Menyiram kepala dan seluruh anggota tubuh dengan air sebanyak tiga kali kemudian yang terakhir mencuci kaki.

Niat
Niat berasal dari kata menyengaja pada sesuatu . (Mu'jam Al Wasîth Bab Nun). Dan menurut Syara', sebagaimana dalam Kitab Hasyiyah Qalyubi : Dan oleh karena itu dikatakan :"Niat menurut Syara' adalah bermaksud atau menyengaja berbuat atau mengerjakan sesuatu disertai dengan mengerjakannya."

Dalam Kitab I'anatut Thalibin disebutkan : ‫(Mengenai: menyengaja di hati) : "Adapun niat menurut Syara' adalah bermaksud atau
bersengaja mengerjakan sesuatu dibarengi dengan perbuatannya, yaitu menyengaja berbuat sesuatu yang diinginkan untuk ikerjakannya dan keinginan atau maksudnya itu dibarengi dengan mengerjakan sesuatu yang dikehendaki tersebut." (I'anatut Thalibin)

Sebagian ‘Ulama’ menyusun sya'ir tentang syarat niat, yaitu : Hai orang yang bertanya kepadaku tentang syarat-syarat niat, Yaitu al-qashdu (menyengaja), at-ta'yîn(menentukan), dan al-fardliyyah (niat fardlu-nya). Berniat, yaitu menyengaja di hati untuk melaksanakan amal perbuatan tertentu, hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh bersabda : Aku mendengar Umar bin Khaththab berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda : "Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung niatnya." (Muttafaq 'alaih) Sehingga artinya:" Sahnya suatu ibadah bila dibarengi dengan niat. "

Hakikat Niat
Hakikat niat : menyengaja sesuatu dengan disertai mengerjakannya

Letak niat : di dalam hati

Hukum niat : Wajib

Tujuan niat : Untuk membedakan ibadah dan kebiasaan seperti duduk untuk I’tikaf dan duduk untuk istirahat atau untuk membedakan derajat ibadah seperti antara ibadah wajib dan sunah

Syarat niat : Islam-nya pelaku, tamyiz, mengerti yang ia niati, tidak mendatangkan sesuatu yang menafikannya, tidak menggantungkannya seperti dengan perkataan Insya Allah.

Waktu niat : Dipermulaan ibadah kecuali dalam hal puasa.

Cara niat : Berbeda-beda melihat bentuk ibadah yang ia niati. (Bughyah Al Mustarsyidin)‬

(Fasal) Boleh mendahlukan niat atas pelaksanaan ibadah dalam jarak waktu yang sedikit sebagaimana yang berlaku dalam ibadah-ibadah lainnya.

Hukum melafadzkan niat :
Hukum melafadzkan niat -at talafudz binniyyah) seperti misalnya :
‫اSaya niat mandi junub untuk menghilangkan hadas besar junub karena Allah
Pendapat yang shahîh di kalangan ‘Ulama’ Syafi’iyah (sebagaimana dalam Mughni al-Muhtaj) menyatakan wajibnya niat fardlu dan syarat niat ada tiga, yaitu bersengaja (al-qashd), menentukan (at-ta’yin) dan niat fardlu (al-fardliyah). Menurut Madzhab Syafi’i, ber-niat itu di hati dan di lisan. Pendapat yang menyatakan bahwa sunnah melafadzkan niat juga didukung oleh ‘Ulama’ ‘Hanbaliyah (Al Mughni al Mukharraq) Niat tidak disyaratkan langgeng hingga akhir ibadah, karena hal itu menyulitkan. Begitu juga, tidak wajib niat ibadah bagi setiap bagian-bagian ibadah tersebut, melainkan cukup niat melakukan amalan-amalan ibadah itu secara keseluruhan. Oleh sebab itu, niat dalam ibadah yang mempunyai banyak amal perbuatan (al-af’al) cukup dilakukan di awai ibadah saja, tidak perlu berniat ketika melakukan perbuatan-perbuatan yang ada dalam ibadah tersebut seperti wudlu dan shalat. Begitu juga haji, sehingga tidak perlu menyendirikan niat untuk thawâf, sa’i, dan wuquf. Dalam shalat tidak boleh membagi-bagi niat (tafriqun-niyah), yaitu berniat setiap kali melakukan rukun rukunnya. Adapun dalam wudlu/mandi boleh melakukan tafriq an-niyah menurut pendapat yang ashah (paling shahîh) dalam madzhab Syafi’i. Dalam manasik haji adalah melakukan niat dalam masing-masing thawaf, sa’i, dan wuquf di ‘Arafah. Tetapi apabila thawafnya adalah thawaf nadzar atau thawâf sunnah, maka disyaratkan niat. Karena, thawâf tersebut tidak ikut dalam satu paket ibadah apa pun. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa thawaf adalah ibadah yang wajib niat apabila thawâfnya itu sunnah. Tetapi kalau thawafnya itu fardhu, maka tidak diwajibkan niat (karena sudah tercakup dalam niat Haji). Madzhab Hanbali mengatakan bahwa yang wajib dalam niat adalah mengkontinyukan makna niat, bukan mengkontinyukan hakikat niat, dengan cara menjauhi keinginan untuk memutus niat. Misalkan seseorang lalai dengan niatnya (di tengah-tengah waktu shalat), maka hal itu tidak memengaruhi sahnya shalat yang dilakukan. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh). Menurut Madzhab Syafi’i, niat harus bersamaan dengan pelaksanaan suatu ibadah sedang menurut madzhab Hanbali niat boleh mendahulukan niat atas pelaksanaan ibadah asalkan dalam jarak waktu yang pendek.

Tujuan pelafadzan niat :
Niat adanya dalam hati, keberadaan lisan sekedar menolongnya agar ada dalam hati. ‫Sedangkan mengucapkan yang diniatkan adalah sunat agar dapat menolong hati.

Mandi Janabah Rasulullah
Dari ‘Aisyah, ia berkata, bahwasanya Rasalullah apabila mandi janabah ia memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian wudhu seperti wudhu untuk shalat lalu memasukkan jari-jarinya ke dalam air kemudian menyisirkannya ke pangkal rambut kemudian mengalirkan air ke kepalanya tiga cawukan dengan kedua tangannya kemudian meratakan air pada seluruh kulit badannya. (HR. Bukhari)

Madzhab Hanafî dan Maliki menerangkan juga mengenai Mandi Sunnah (dimana tata caranya sama dengan mandi Janabat) yaitu:
1. Mandi untuk Shalat Jum’at
2. Mandi untuk Shalat dua Hari Raya
3. Mandi untuk Ihram Haji dan Umrah
4. Mandi untuk mengerjakan Shalat Gerhana
5. Mandi setelah memandikan Jenazah
6. Mandi wanita yang Istihadhah
7. Mandi setelah berbekam, pada Malam Nishfu Sya’ban, Lailatul Qadar (seandainya ia mengira menemuinya)
8. Mandi setelah pulih dari gila, pingsan atau mabuk.

Tata Cara Mandi Janabah, 4 Madzhab

Syarat kemutlakan air (air suci dan mensucikan), Badan harus suci terlebih dahulu, serta tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya ke kulit, Ber-niat, Menyiramkan secara merata ke suluruh tubuh, Tertib, berurutan. Wajib, saat akan Niat adalah Syarat, akan mandi, namun menyiramkan air bukan Rukun, tidak terlalu lama. Wajib, namun ada perbedaan memulai dari mana :

Hanafi : sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, lalu tubuh sebelah kiri.
Syafi’i dan Maliki: di sunnahkan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain farji (kemaluan).
Hanbali : disunnahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.

Wajib yaitu:
1. Junub
2. Haid
3. Nifas
4. Orang yang meninggal dunia.

Junub yang mewajibkan mandi : Keluar mani baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Seseorang sudah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu air mani atau madzi ?

Jima’ yaitu : memasukkan dzakar atau sebagian dari hasyafah (kepala dzakar) ke dalam farji (kemaluan) wanita

Sesuatu Ibadah yang mewajibkan mandi :
junub : Shalat, thawaf dan memegang/menyentuh al-qur’an. Orang yang junub tidak boleh berdiam di masjid. Sepakat. Dan ada tambahan : Maliki dan Hanbali : Orang Kafir yang masuk Islam, wajib Mandi Besar. Syafi’i: kalau orang kafir itu masuk islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi karena junubnya, bukan islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak wajib mandi. Hanafi: ia tidak diwajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, (Al Mughnî al Mukharraq, 1/207).

Tidak diwajibkan mandi, kecuali kalau pada Jika keluar air mani Sependapat dengan saat keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau maka ia wajib mandi, Hanafi dan Hanafi air mani itu keluar karena dipukul, dingin tidak ada bedanya, atau karena sakit bukan karena syahwat, baik keluar karena maka ia tidak di wajibkan mandi. Syahwat maupun tidak Wajib Mandi Tidak wajib Mandi, Bila sebelum tidur ia karena suci memikirkan/membayangkan, sedang- angkan hal yang kan hadats meragu- nikmat (ber-jima’), kan maka di-wajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia tidak diwajibkan mandi, karena tidak jelas. Sepakat, wajib mandi, meskipun belum keluar manî. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat : Apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua kelamin itu, diwajibkan mandi atau tidak?

Hanafi: wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat, yaitu: Pertama baligh. Kalau yang baligh itu yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi belum baligh, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanyalah yang baligh saja. Dan kalau keduanya belum baligh, maka keduanya tidak diwajibkan mandi. Kedua, harus tidak ada batas (bungkus) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup, maka kalau ia memasukkan dzakarnya ke binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi.

Syafi’i : meskipun kepala dzakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja belum masuk, maka ia diwajibkan mandi, tak ada bedanya, baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada batas (bungkus) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun manusia.

Hanbali dan Maliki : bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (bungkus) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya, baik pada hewan ataupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu hidup atau meninggal.
Jika telah baligh, Maliki: bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi, kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya telah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani.

Hanbali : mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari 10 tahun, bagi wanita yang di setubuhi itu tidak kurang dari 9 tahun. Sepakat. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Minhaju at-Talibin karya Imam an-Nawawi yaitu:
Dan diharamkan karena berhadats: shalât, berthawaf, membawa mushaf dan menyentuh lembarannya. Sepakat, hanya berbeda pendapat, boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya.

Maliki dan Hanafi : tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting).

Syafi’i dan Hanbali: boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam, pendapat ini berdasarkan keterangan ayat 43 surat An-Nisa’: “(jangan pula) hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja”. Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati masjid-masjid yang dijadikan tempat shalat, kecuali ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yaitu masjidil Haram dan masjid Nabawi, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda beda
Membaca al-qur’an (pengecualian). Orang yang junub tidak boleh membaca al quran, kecuali dia menjadi guru mengaji yang menyampaikannya (mengajarkannya) kata perkata. Orang yang junub diharamkan mem- baca sesuatu dari al-quran, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti)-berdalil. Satu huruf pun bagi orang yang junub diharamkan membaca Al quran, kecuali hanya untuk dzikir (mengingat) seperti menyebut nya pada saat makan Sependapat Maliki

Apakah perlu ber-wudhu' lagi, bila sudah Mandi Janabah?

Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat: Mandi janabat/mandi junub itu juga menghilangkan hadats kecil sehingga tidak perlu lagi berwudhu‘. Selama tidak ada sesuatu yang membatalkan wudhu’, maka mandinya sudah mencukupi. Baik saat niat mandi dibarengi dengan niat wudhu’ atau tidak. (Al-Bujairimi ‘Ala al-Khatib, I/197).

Menurut madzhab Hanbali: mandi Janâbah bisa juga menggantikan kedudukan wudhu, jika niatnya bersamaan dengan niat mandi ia juga berniat wudhu’. Sebagaimana hadits :
Dari ‘Aisyah ‫berkata:"Adalah Rasulullah tidak berwudhu'' lagi sesudah mandi". (Hadits shahih riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Namun bila selama mandi ada yang membatalkan wudhu', seperti memegang farji/alat kelamin, maka harus berwudhu' lagi.

Bolehkah memegang/menyentuh al-mushaf Al Qur’an ketika sedang berhadats kecil?
Imam Madzhab berbeda pendapat tentang orang berhadats kecil, bolehkah menulis Al-Qur'an dan membacanya (ada Al-Qur'an/tidak), dan menyentuh/membawanya dengan pelindung, demi menjaganya.

Hanafi berpendapat: Tidak boleh menulisnya dan menyentuhnya walau ditulis dengan bahasa asing, tetapi boleh membacanya tanpa memakai Al-Qur'an.

Maliki berpendapat: Tidak boleh menulisnya, menyentuh kulitnya walaupun dengan aling-aling, tetapi boleh melafalkan dengan membaca maupun tidak, atau sentuhannya dengan pelindung dan membawanya demi menjaganya.

Syafi’i berpendapat: Tidak boleh menyentuh kulitnya, walaupun ia terpisah dengan isinya, juga tidak boleh menyentuh talinya selama ia masih melekat dengan Al-Qur'an, tetapi boleh menulisnya dan membawanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh sesuatu yang menjadi sulaman dari ayat-ayat Al-Qur'an.

Hanbali berpendapat: Boleh menulisnya, dan membawanya demi menjaganya kalau dengan pelindung.

Dalam kitab Hasyiat al-‘Allamah as-Syaikh ‘Abd al-Karim al-Matari ad-Dimyati , hal. 46: ‫َKatanya, “Dan membawanya (mushaf) adalah haram, kecuali jika ia khawatir atasnya akan hanyut, terbakar, gangguan orang kafir, terkena najis, atau hilang, sedangkan ia sulit untuk bersuci, walaupun dengan tayammum, dan sulit pula untuk menitipkannya kepada orang mukmin yang dipercaya, maka tidak haram membawanya dan menyentuhnya, bahkan wajib, walaupun ketika buang air besar, kecuali kalau sekedar takut hilang, maka hal itu merupakan keharusan membawanya dan bukan wajib

Materi Tambahan :
Batasan Wajah : Membasuh Dagu /Janggut, Kulit yang tidak ditumbuhi rambut di atas daun telinga Menyela-nyela bulu jenggot Mengusap telinga, Mengusap Kepala, Wajib, boleh ketika Wajib, saat akan Niat adalah Syarat wu-akan wudhu’ tidak mem-basuh muka dlu, bukan Rukun terlalu lama dimulai dari tempat yang biasa ditumbuhi rambut hingga batas ujung dagu bagi orang yang tidak mempunyai janggut dan sampai ujung rambut janggut bagi orang yang mempunyai janggut sekalipun janggut itu panjang mulai dari tempat yang biasa ditumbuhi rambut sampai akhir ujung dagu. tidak wajib dibasuh termasuk bagian dari wajah dibasuh Wajib dibasuh termasuk bagian termasuk bagian dari kepala dari wajah dibasuh diusap Wajib tidak wajib dibasuh termasuk bagian dari kepala diusap Wajib Tidak Wajib Sebagaian (se-Seluruh-nya Sebagaian , sedikit Seluruhnya atau ukuran telapak boleh selebar ubun-ubun tangan), se saja perempat ke-pala atau selebar tiga jari, Membasuh Kaki Membasuh atau mengusap.

Menurut Ibn Abbas : difardlukan mengusap.

Menurut Imam Malik wajib Tadlik (menggosok) untuk semua bagian anggota wudlu’

Tertib, berurutan

Faur : membasuh anggota wudhu’' sebelum anggota wudhu’' yang sebelumnya kering

Perbedaan hal yang membatalkan Wudhu’ Keluar kencing, madzi, wadi, mani, darah haidh/nifas dari kemaluan dan kentut/-kotoran dari Anus, Tidur, Hilang akal, muntah, Darah/ Nanah, yang keluar bukan dari dua jalan (qubul/dubur), Laki-laki menyentuh wanita (sebalik-nya), yang bukan mahram), kulit menyentuh kulit tanpa penghalang

Hanafi Batal, bila: dg miring, telentang diatas punggung-nya, tidur diatas salah satu paha-nya, Batal, bila memenuhi mulut, Batal Wudhu’-nya. Tidak batal, kecuali bila karena sentuhan itu keluar madzi, atau yang ber-sentuhan itu dzakar dan farji istri nya

Maliki, Syafi’i Batal Wudhu’-nya, Batal, bila nyenyak, se-bentar/lama, baik dlm keadaan berbaring, duduk/sujud, Batal ,bila pantatnya terangkat dari tempatnya duduk, Batal wudhu’-nya

Batal ,bila: yang disentuh itu baligh dan merasakan nikmat-nya sentuhan, tidak batal bagi yang disentuh, kecuali ia juga merasakan nikmat, Batal secara mutlaq, baik ada/tanpa syahwat, kepada wanita muda/tua, cantik/ tidak bila menyentuh mahram, tidak batal.

Hanbali, Batal (kecuali sebentar menurut ukuran urf/kebiasaan) Batal, bila banyak, Batal, bila dengan syahwat, baik wanita muda/tua, cantik/tidak. Juga bila menyentuh mahram (Ibu, sdr Pr, bibi) Laki-laki menyentuh, laki-laki/banci, atau wanita menyentuh wanita /banci, Banci menyentuh banci/laki laki/wanita. Menyentuh Rambut, kuku, gigi wanita

Hanafi : Tidak Batal, kecuali bila dzakar yang menyentuh bangun

Maliki, Tidak Batal, Laki-laki menyentuh : dzakar/penis Tidak Batal, baik dzakar-nya sendiri atau orang lain, dan sunnah wudhu’ lagi Wanita menyentuh Farji /vagina Tidak Batal. Bila memasukkan jari ke dalam farji basah) /anus, Batal bila untuk merasakan kenikmatan, Batal bila menyentuh dzakar orang lain yang baligh (meski banci), tanpa penghalang, dengan bagian dalam tapak tangan. Tidak batal bila selain itu, Tidak Batal, meski me-masukkan jari ke dalamnya, dan merasa nikmat, Batal bila farji wanita lain

Syafi’i : Tidak batal, bila yang disentuh anak laki-laki muda tampan, sunnah wudhu’ lagi

Hanbali, Tidak batal, bila yang disentuh anak laki laki muda-tampan, meskipun yang menyentuh ada rasa nikmat, Tidak batal, Batal bagi yang menyentuh, baik dzakar sendiri atau orang lain, anak kecil atau sdh jadi mayat, bila tanpa penghalang dan memakai tapak tangan bagian dalam atau ujung jari jemari atau bagian pinggir tapak tangan, Tidak batal, bila yang disentuh : Bulunya atau buah dzakar-nya, Batal bagi yang menyentuh, baik farji/anus sendiri atau orang lain, anak kecil atau sudah jadi mayat, bila tanpa penghalang dan memakai tapak tangan bagian dalam atau ujung jari jemari atau bagian pinggir tapak tangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut