21 Maret 2012

Pengajian Masjid Daarut Tauhid Bintaro Tema : Kajian Fiqih : Mandi Tanggal : 21 Maret 2012

Event : Pengajian Masjid Daarut Tauhid Bintaro
Tema : Kajian Fiqih : Mandi
Tanggal : 21 Maret 2012
Pembicara : Ustadzah Dra. Badriyah Fayumi, Lc, MA

Ada 6 perkara yang mewajibkan mandi, 3 diantaranya diwajibkan bagi laki-laki dan perempuan, yaitu :

1. Bertemunya dua alat kelamin

Bertemunya dua alat kelamin laki-laki dan perempuan meskipun adanya pembatas seperti kain, alat kontrasepsi, dll, karena sebuah hadist " Ketika dua alat kelamin bertemu, maka wajib mandi meskipun tidak sampai keluar air mani " (HR. Muslim ). Adapun hadist yang menununjukkan atas kewajiban
mandi ketika mengeluarkan air mani seperti hadist :" Sesungguhnya kewajiban mandi itu berasal dari keluarnya air mani " sedangkan menyebutkan kata Al-Khitanaini ( dua alat kelamin ) karena umumnya ketika dua alat kelamin bertemu, maka air mani dapat keluar. Maka apabila seseorang memasukkan
Hasyafahnya (alat kelamin laki-laki) kedalam farji (alat kelamin perempuan ) hewan ternak, atau melalui duburnya, maka hukumnya sama dengan berhubungan dengan manusia sebab sama-sama jima' (bersetubuh) lewat farji.

---

2. Keluar Air Mani

Keluarnya air mani dapat menyebabkan diwajibkannya mandi. Tidak ada bedanya baik laki-laki maupun perempuan, wajib mandi apabila telah mengeluarkan air mani. Adapun definisi dari air mani sendiri telah dijelaskan dalam bab wudlu terdahulu. Dasar diwajibkannya mandi sebab keluarnya air mani adalah hadist yang menerangkan bahwa " Sesungguhnya kewajiban mandi berasal dari keluarnya air mani. Oleh karena itu, maka apabila seseorang mengeluarkan air mani, baik dari tempat keluarnya mani yang biasa atau yang dibuatkan oleh seorang dokter, yang mana terbilang sebagai tempat keluarnya mani, maka wajib baginya untuk mandi besar, meskipun dengan jalan haram seperti masturbasi, onani dll. Apabila ada keraguan dalam diri seseorang tentang apakah air yang ada di pakaian ini mani atau madzi? Maka menurut pendapat yang mu'tamad ( yang dapat dipakai sebagai pijakan hukum ) adalah dia boleh memilih antara keduanya dengan konsekwensi hukum menurut yang yang telah dipilih. Apabila dia cenderung memilih mani, maka dia wajib mandi dan apabila dia lebih memilih madzi, maka dia tidak wajib mandi namun pakaiannya menjadi najis.

---

3. Meninggal

Meninggal merupakan sebab diwajibkannya mandi meskipun tergolong fardlu kifayah selain orang yang mati syahid yang haram dimandikan. Untuk keterangan tentang cara memandikan mayit dan hukum-hukumnya akan dibahas dalam bab jenazah pada bab tersendiri.

---

Dan yang 3 perkara lagi khusus bagi perempuan, yaitu :

4. Haid

5. Nifas

6. Wiladah (melahirkan)

---

Jika terjadi sentuhan langsung antara laki-laki dan perempuan apakah membatalkan wudhu ataukah tidak ada tiga pendapat ulama.

1. Wudhu itu batal baik sentuhan tersebut diiringi dengan syahwat ataukah tidak.

Ibnu Katsir mengatakan, “Pendapat yang mengatakan wajibnya berwudhu karena sekedar menyentuh perempuan adalah pendapat Syafii dan para ulama mazhab Syafii, Malik dan pendapat yang terkenal dari Ahmad bin Hanbal”

Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Hazm. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga berpendapat dengan pendapat ini.

---

2. Bersentuhan dengan perempuan tidaklah membatalkan wudhu sama sekali. Inilah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan sebelumnya merupakan pendapat Ibnu Abbas, Thawus, al Hasan al Bashri dan Atha’. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

---

3. Mengatakan bahwa menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu jika diiringi syahwat dan tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua mengingat dalil-dalil sebagai berikut.

Dari Abu Hurairah, dari Aisyah, aku kehilangan Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidurku lalu kucari-cari. Akhirnya tanganku memegang bagian dalam telapak kaki Nabi. Ketika itu Nabi di masjid dan kedua telapak kakinya dalam posisi tegak. Saat itu Nabi sedang mengucapkan doa, ‘Ya Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari murkaMu dan dengan maafMu dari hukumanMu. Aku berlindung dengan diriMu dari siksaMu. Aku tidak mampu memujimu sebagaimana pujianMu untuk diriMu sendiri’ (HR Muslim)

Dari Aisyah, Aku tidur melintang di hadapan Rasulullah yang sedang shalat. Kedua kakiku terletak di arah kiblat. Jika beliau hendak bersujud beliau sentuh kakiku sehingga kutarik kedua kakiku. Jika beliau bangkit berdiri kembali kuluruskan kakiku. Aisyah bercerita bahwa pada waktu itu tidak ada lampu di rumah (HR Bukhari) dan (HR Muslim).

Kedua hadits di atas menunjukan bahwa sentuhan antara laki-laki dan perempuan tidaklah membatalkan wudhu. Seandainya wudhu batal tentu shalat yang Nabi lakukan juga batal.

Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi itu sering mencium salah seorang istri kemudian beliau langsung shalat tanpa mengulang wudhu (HR Nasai)

Hadits ini menunjukkan bahwa sentuhan bersyahwat itu tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana kita ketahui bahwa mencium istri itu identik dengan syahwat

---

Macam fiqih :

1. Fiqih ibadah : bersuci dll

2. Fiqih Munakahat : Pernikahan (Nikah, talaq, rujuk, nafkah, maghonah dll)

3. Fiqih muamalah : transaksi perniagaan (jual beli, sewa menyewe, patungan, hutang piutang, perbankan, asuransi dll)

4. Fiqih mawaris : warisan

5. Fiqih jinayah : hukuman mencuri, minuman keras, zina dll

---

Fiqih : Upaya memahami hukum islam yang praktis berdasarkan dalil (Al Quran, Hadist, Ijmak, Qiyas) yang terperinci dengan jalan ijtihad

---

Macam-macam Mandi Wajib yaitu:

1. Junub

2. Haid

3. Nifas

4. Orang Islam yang meninggal dunia. Keempat hal ini telah disepakati semua ulama mazhab.

Hambali: Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam.

Syafi’i dan Imamiyah: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi karena. junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak diwajibkan mandi.

Hanafi: la tidak diwajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid I, hal. 207). Imamiyah: Menambah dua mandi lagi dari empat macam di atas, yaitu: Mandi istihadhah, dan mandi ketika menyentuh mayat. Mereka (Imamiyah) mewajibkan mandi bagi yang menyentuh mayat yang telah dingin, dan mayat tersebut belum dimandikan. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu sebanyak empat, menurut Hanafi dan Syafi’i; dan menurut Hambali dan Maliki ada lima; sedangkan menurut Imamiyah ada enam. Mandi Junub Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu:

Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Imamiyah dan Syafi’i: Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hambali: Tidak diwajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi. Tapi kalau mani sudah terpisah dari suibi lelaki atau dari tulang dada wanita dan mani belum sampai pindah keluar (pada yang lain), maka ia tidak diwajibkan mandi, kecuali menurut Hambali. (Masalah) kalau orang yang tidur telah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani atau madzi. Hanafi: Wajib mandi. Syafi’i dan Imamiyah: Tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadas diragukan. Hambali: Kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berpikir tentang yang porno-pent), maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.

Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan ke­pala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat; apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua ke­maluan itu, diwajibkan mandi atau tidak?

Hanafi: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu: Pertama, baliqh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baligh saja, dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan mandi. Kedua, harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukkan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi.

Imamiyah dan Syafi’i: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada balas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.

Hambali dan Maliki: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meniggal. Kalau yang telah baligh, Maliki: Bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubu­hi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetu­buhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya sudah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani.

Hambali: Mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetu­buhi itu umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun, bagi wanita yang disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun.

Sesuatu Yang Mewajibkan Mandi Junub Semua perbuatan yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti shalat, thawaf, dan menyentuh Al-Qur’an, lebih dari itu yaitu berdiam di masjid. Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya berbeda pendapat tentang boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya. Maliki dan Hanafi: tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting).

Syafi’i dan Hanafi: Boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam. Imamiyah: Tidak boleh berdiam dan melewati kalau di Masjidil Haram dan Masjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam (Masjid Nabawi di Madinah), tetapi kalau selain dua masjid tersebut boleh melewatinya, tapi kalau berdiam, tetap tidak boleh di masjid mana saja, berdasarkan keterangan ayat 43 surat An-Nisa’: “(jangan pula) hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja”. Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati masjid-masjid yang dijadikan tempat shalat, kecuali kalau ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian).

Sedangkan membaca Al-Qur’an, Maliki: Bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari Al-Qur’an, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali. Hanafi: Bagi orang yang junub tidak boleh membacanya, kecuali kalau ia jadi guru mengaji Al-Qur’an yang menyampaikannya (men-talqin; mengajarnya) kata perkata. Syafi’i: Bahkan satu huruf pun bagi orang yang junub tetap di­haramkan, kecuali hanya untuk dzikir (mengingat), seperti menyebutnya pada waktu makan. Imamiyah: Bagi orang yang junub itu tidak diharamkan kecuali membaca Surat Al-Azaim yang empat walau hanya sebagiannya, yaitu: Iqra, Al Najm, Hamim Al Sajadah, dan Alif lam Mim Tanzil. Kalau selain empat di atas boleh membacanya, hanya tetap dimakruhkan kalau sampai lebih dari tujuh ayat, dan bila sampai lebih dari tujuh puluh ayat, maka sudah termasuk makruh mu’akkad.

Imamiyah menambahkan bahwa pada waktu berpuasa pada bulan Ramadhan dan pada waktu menggantinya (mengqadha ‘nya), tidak sah puasa orang yang berpuasa itu kalau masuk waktu pagi dalam keadaan junub, baik sengaja maupun tidak. Sedangkan kalau ia tidur siang atau malarn, lalu masuk waktu pagi dalam keadaan “mimpi” (junub), maka tidak menjadikan puasanya batal. Dalam masalah ini, Imamiyah berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain. Hal-hal Yang Wajib Dalam Mandi Junub Dalam mandi junub diwajibkan apa yang diwajibkan dalam wudhu, baik dari segi ke muthlak-an air sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya ke kulit, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab wudhu. Diwajibkan juga berniat, Kecuali Hanafi yang menolak niat ini. Alasannya: Hanafi tidak menganggap niat itu sebagai syarat sahnya mandi. Empat mazhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan. Mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau sebaliknya.

Hanafi: Menambahkan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidup lalu dihembuskan. Mereka (Hanafi): Sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, kemudian tubuh sebelah kiri. Syafi’i dan Maliki: Disunnah kan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). la (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang lain.

Hambali: Disunnahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.

Imamiyah: Membagi mandi junub ke dalam dua bagian, yaitu: Tertib dan Irtimas Tertib ialah orang yang mandi harus menyiramkan air pada tubuhnya dengan satu siraman. Maka dalam hal ini, ia wajib memulai dari atas, kemudian pada bagian tubuh yang kanan, lalu pada yang kiri. Bila hal itu tidak terlaksana, atau mendahulukan yang terakhir atau mengakhirkan yang seharusnya didahulukan, maka mandinya batal. Irtimas ialah menceburkan semua tubuhnya ke dalam air satu kali (menyelam). Maka kalau ada sebagian tubuh yang tidak tenggelam, itu tidak cukup (tidak sah) Imamiyah mengatakan bahwa semua jenis mandi tidak memadai sebagai pengganti dari wudhu, kecuali mandi junub. Karena mandi junub sudah termasuk wudhu di dalamnya. Empat mazhab: Tidak membedakan antara mandi junub dengan mandi-mandi lainnya, karena tidak cukupnya syarat-syarat yang ada dalam wudhu

---

Beda hadast dan najis

Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat. Dia terbagi menjadi dua: Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama ‘pembatal wudhu’.

Adapun najis maka dia adalah semua perkara yang kotor dari kacamata syariat, karenanya tidak semua hal yang kotor di mata manusia langsung dikatakan najis, karena najis hanyalah yang dianggap kotor oleh syariat. Misalnya tanah atau lumpur itu kotor di mata manusia, akan tetapi dia bukan najis karena tidak dianggap kotor oleh syariat, bahkan tanah merupakan salah satu alat bersuci.

---

Hukum mencukur rambut (ada juga yg menyebut bulu) kemaluan adalah Sunnah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi berikut: “Lima hal yang termasuk sunnah fitrah: Mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.” (HR Jama’ah)

“Agar kesemuanya itu tidak melebihi 40 malam.” (HR Ahmad, Abu Daud, dll)

---

Rukun-rukun mandi wajib ada dua, yaitu :

1. Niat
Yaitu dengan hati pada saat pertama kali membasuh anggota badan.

Macam-macam niat mandi antara lain :

a. saya niat mandi untuk menghilangkan janabat

b. saya niat mandi untuk menghilangkan hadats besar

c. saya niat mandi wajib

d. saya niat bersuci untuk shalat

2. Meratakan air ke seluruh anggota badan (kulit dan bulu yang tumbuh padanya).

Dengan memperhatikan tempat-tempat yang sulit dilalui air, seperti ketiak, lipatan perut, telinga dan lain-lain.
Hal-hal yang disunnahkan ketika mandi wajib :

Segala yang disunnahkan ketika wudlu’, disunnahkan pula ketika mandi seperti membaca basmalah, bersiwak, menghadap kiblat, membasuh kedua telapak tangan, berkumur, istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), menggosok badan, mendahulukan yang kanan, muwalah (berkesinambungan) dan lain lain.
Selain itu disunnahkan pula kencing sebelum mandi, berdiri, menghilangkan kotoran tubuh, berwudlu’, menyela-nyelai rambut, tiga kali dalam basuhan, mandi dengan menutup aurat (jika mandi sendirian, namun jika dihadapan orang lain hukumnya wajib) dan lain-lain.

Hal-hal yang dimakruhkan ketika mandi wajib :

1. Isrof dalam menggunakan air (lebih dari kebutuhan).

2. Mandi di air yang menggenang.

3. Basuhan lebih dari tiga kali.

4. Meninggalkan kesunahan seperti berkumur, istinsyaq (memasukkan air ke lubang hidung), dll.

Tata cara mandi dengan sempurna :

1. Menghilangkan kotoran terlebih dahulu, seperti mani, kencing dan lain-lain.

2. Kemudian menghadap qiblat, membaca basmalah , bersiwak, membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan istinsyaq, masing masing tiga kali dengan niat mengerjakan sunnah-sunnah mandi.

3. Membasuh dua kemaluan dengan niat menghilangkan janabat pada keduanya.

4. Berwudlu’ sebagaimana biasanya.

5. Mengguyur kepala sambil niat seperti niat-niat di atas.

6. Menyiramkan air pada bagian depan dan belakang tubuh sebelah kanan, kemudian bagian depan dan belakang tubuh sebelah kiri, sambil memperhatikan anggota badan yang sulit dilalui air.

Masalah wudhu’ bagi orang yang mandi janabah ada dua pendapat.

Pertama : dicukupkan dengan mengangkat hadats besar (mandi) karena dengan sendirinya hadats kecil terangkat pula dengan syarat di waktu melaksanakan mandi tidak melakukan perkara yang membatalkan wudhu’ seperti menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Dan ini adalah pendapat yang mu’tamad.

Kedua : tidak cukup dengan mandi (diharuskan wudhu’) karena hadats kecil terangkat dengan wudhu’ dan hadats besar terangkat dengan mandi, permasalahan berbeda dan hukumnya tentunya berbeda.

---

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda: “Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).” (HR. Muslim)

Maka wajib bagi wanita apabila telah bersih dari haidh untuk mandi dengan membersihkan seluruh anggota badan; minimal dengan menyiramkan air ke seluruh badannya sampai ke pangkal rambutnya; dan yang lebih utama adalah dengan tata cara mandi yang terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ringkasnya sebagai berikut: Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.
Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).

---

Tata cara mandi junub perempuan

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata: “Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (HR Bukhori)

Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut: Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata: Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (HR Muslim)

---

Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:

1. Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan wudhu’nya (dimulai dengan bagian yang kanan).

2. Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.

3. Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.

4. Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.

5. Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi.

Tata cara mandi yang disebutkan itu tidaklah wajib, akan tetapi disukai karena diambil dari sejumlah hadits-hadits Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apabila dia mengurangi tata cara mandi sebagaimana yang disebutkan, dengan syarat air mengenai (menyirami) seluruh badannya, maka hal itu telah mencukupinya.

---

Tata cara mandi junub bagi laki laki

Adapun tata caranya adalah berdasarkan hadits dari jalan Aisyah ra., ia berkata, “Dahulu, jika Rasulullah SAW hendak mandi janabah (junub), beliau membasuh kedua tangannya. Kemudian menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya lalu membasuh kemaluannya. Lantas berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat. Lalu beliau mengambil air dan memasukan jari – jemarinya ke pangkal rambut. Hingga beliau menganggap telah cukup, beliau tuangkan ke atas kepalanya sebanyak 3 kali tuangan. Setelah itu beliau guyur seluruh badannya. Kemudian beliau basuh kedua kakinya” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Pada riwayat lain dikatakan, “… dan dimasukannya jari – jari ke dalam urat rambut hingga bila dirasanya air telah membasahi kulit [kepala], disauknya dua telapak tangan lagi dan disapukannya ke kepalanya sebanyak 3 kali, kemudian dituangkan ke seluruh tubuh” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dari hadits yang mulia di atas maka urutan tata cara mandi wajib adalah :

1. Membasuh kedua tangan

2. Membasuh kemaluan

3. Berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat (Boleh menangguhkan menangguhkan membasuh kedua kaki sampai selesai mandi)

4. Mencuci rambut dengan cara memasukan jari – jemari ke pangkal rambut

5. Menuangkan air ke atas kepala sebanyak 3x atau mengambil air dengan kedua tangan Kemudian menyapukannya ke kepalanya.

6. Menguyur seluruh badan

7. Membasuh kaki

Sedangkan rukun dari mandi wajib ini menurut pandangan fiqih ada 2 yaitu :

1. Berniat. Karena inilah yang memisahkan antara ibadah dengan kebiasaan dan adat.

2. Membasuh seluruh anggota tubuh. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu junub hendaklah bersuci”, maksudnya adalah mandi.

---

Siapa saja yang tidak boleh dinikahi

QS An Nisa : 23

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

---

Makruh

Bagian paling rendah dalam rangkaian perkara-perkara yang dilarang adalah perkara makruh yaitu makruh tanzihi. Sebagaimana diketahui, makruh ini ada dua macam; makruh tahrimi dan makruh tanzihi. Makruh tahrimi ialah perkara makruh yang lebih dekat kepada haram; sedangkan makruh tanzihi ialah yang lebih dekat kepada halal. Dan itulah yang dimaksudkan dengan istilah makruh pada umumnya.

Banyak sekali contoh yang kita kenal dalam perkara ini. Barangsiapa yang pernah membaca buku Riyadh as-Shalihin, yang ditulis oleh Imam Nawawi, maka dia akan dapat menemukan berbagai contoh tentang perkara yang makruh ini. Seperti makruhnya orang yang makan sambil bersandar, minum dari bawah bejana air, meniup minuman, beristinja' dengan tangan kanan, memegang farji dengan tangan kanan tanpa adanya uzur, berjalan dengan satu sandal, bertengkar di masjid dan mengangkat suara di dalamnya, berbisik di masjid pada hari Jumat ketika imam sedang berkhotbah, membesar-besarkan suara ketika berbicara, mengucapkan doa, "Ya Allah ampunilah dosaku kalau engkau mau." "Kalau Allah dan Fulan menghendaki", berbincang-bincang
setelah makan malam yang paling akhir, shalat ketika makanan sudah dihidangkan, mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa, atau untuk melakukan Qiyamul Lail.

Perkara yang makruh sebagaimana didefinisikan oleh para ulama ialah perkara yang apabila ditinggalkan kita mendapatkan pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapatkan dosa.

Oleh karena itu, tidak ada siksa bagi orang yang melakukan perkara yang dianggap makruh tanzihi. Hanya saja, ia akan dikecam apabila melakukan sesuatu yang pantas mendapatkan kecaman apalagi jika ia melakukannya berulang-ulang.

Akan tetapi, kita tidak perlu menganggap mungkar tindakan semacam ini (makruh tanzihi); agar mereka tidak terjebak dalam kesibukan memerangi hal-hal yang makruh padahal di saat yang sama mereka sedang melakukan hal-hal yang jelas diharamkan oleh agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut