06 Mei 2010

Pengajian Mahagoni Park Tanggal 6 Mei 2010

Event : Pengajian Mahagoni Park
Tanggal : 6 Mei 2010
Pembicara :Ustadzah Ummu Mumtaza
Tema : sebagian tafsir QS Al Kafirun, BaB Pernikahan

Katakanlah: "Wahai orang-orang kafir,
QS. al-Kafirun (109) : 1
Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.
QS. al-Kafirun (109) : 2
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
QS. al-Kafirun (109) : 3
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
QS. al-Kafirun (109) : 4
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
QS. al-Kafirun (109) : 5
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku".
QS. al-Kafirun (109) : 6

---

Hadist yang berkaitan dengan QS Al Kafirun :

1. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anha

"Aku mengamati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama sebulan, beliau membaca dalam dua rakaat sebelum fajar : Qul ya ayyuhal kaafirun dan Qul huwallaahu Ahad.” HR. At-Tirmidzi

2. Dari riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu disebutkan,

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca dalam dua rakaat fajar: Qul Yaa Ayyuhal kaafiraun dan Qul huwallaahu Ahad.” HR. Muslim

3. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma,

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca pada rakaat pertama dari dua rakaat fajar : Quuluu aamannaa billaahi wamaa uunzila ilayna, satu ayat yang terdapat dalam surat Al-Baqarah. Dan pada rakaat kedua, beliau membaca : Aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun.” Dalam riwayat yang lain, “Dan beliau membaca satu ayat yang terdapat dalai surat Ali Imran pada rakaat kedua: Ta’aalaw ilaa kalimatin sawaa’in baynanaa wa baynakum.” keduanya diriwayatkan Imam Muslim

Tafsir ayat ke 1 :

Kaum Nasrani, Yahudi, Majusi tidak berhenti untuk mengkafirkan kaum muslimin

Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
QS. al-Baqarah (2) : 109

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
QS. al-Baqarah (2) : 217

---

Jenis sabar :

1. hendaknya manusia bersabar terhadap ketaatan kepada Allah, karena sesungguhnya ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa dan sulit bagi manusia.

2. bersabar dari hal-hal yang Allah haramkan sehingga seseorang menahan jiwanya dari apa-apa yang Allah haramkan kepadanya, karena sesungguhnya jiwa yang cenderung kepada kejelekan itu akan menyeru kepada kejelekan, maka manusia perlu untuk mengekang dan mengendalikan dirinya, seperti berdusta, menipu dalam bermuamalah, memakan harta dengan cara yang bathil, dengan riba dan yang lainnya, berbuat zina, minum khamr, mencuri dan lain-lainnya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang sangat banyak.
Maka kita harus menahan diri kita dari hal-hal tadi jangan sampai mengerjakannya dan ini tentunya perlu kesabaran dan butuh pengendalian jiwa dan hawa nafsu.

3. sabar terhadap taqdir Allah yang menyakitkan (menurut pandangan manusia).
Karena sesungguhnya taqdir Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia itu ada yang bersifat menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan.
Taqdir yang bersifat menyenangkan; maka butuh rasa syukur, sedangkan syukur itu sendiri termasuk dari ketaatan, sehingga sabar baginya termasuk dari jenis yang pertama (yaitu sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah).

---

Jangan suka ngedumel :

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
QS. an-Nisa' (4) : 148
Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.
QS. an-Nisa' (4) : 149

---

Suami juga harus peduli dengan istri :

Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:" Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur'an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya ".
QS. an-Nisa' (4) : 127
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
QS. an-Nisa' (4) : 128

Wanita memiliki hak atas harta suami :

Wahai orang orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
QS. an-Nisa' (4) : 19
Dan jika kamu ingin mangganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
QS. an-Nisa' (4) : 20
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
QS. an-Nisa' (4) : 21

Akhlak wanita yang bersuami :

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
QS. an-Nisa' (4) : 34
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
QS. an-Nisa' (4) : 35

Hal hal yang ada di dalam istilah pernikahan :

1. Talak
adalah sebuah istilah dalam agama Islam yang berarti adalah perceraian antara suami dan istri.

pada zaman sebelum islam datang ke tanah arab, masyarakat jahiliyah jika ingin melakukan talak dengan istri mereka dengan cara yang merugikan pihak perempuan. mereka mentalak istrinya, kemudian rujuk kembali pada saat iddah istrinya hapir habis, kemudian mentalaknya kembali. hal ini terjadi secara berulang-ulang, sehingga istrinya menjadi terkatung-katung statusnya. dengan datangnya islam, maka aturan seperti itu dirubah dengan ketentuan bahwa talak yang boleh dirujuki itu hanya dua kali. setelah itu boleh rujuk, tetapi dengan beberapa persyaratan yang berat.

Ada beberapa pengertian talak menurut ulama fikih. ulama mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus. menurut mazhab syafi'i, talak adalah pelepasan aqad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu. sementara menurut ulama maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.

perbedaan defenisi diatas menybabkan perbedaan akibat hukum bila suami menjatuhkan talak raj'i pada istrinya.

menurut hanafi dan hanbali, perceraian ini belum menghapuskan seluruh akibat talak, kecuali iddah istrinya telah habis. mereka berpendapat bahwa bila suami jimak dengan istrinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. ulama maliki mengatakan bila perbuatan itu di awali dengan niat, maka berarti rujuk. ulama syafi'i mengatakan bahwa suami tidak boleh jimak dengan istrinya yang sedang menjalani masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka, rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan perbuatan.

Ada beberapa pembagian talak, yaitu pembagian dilihat dari segi cara suami menjatuhan dan dari segi boleh - tidaknya suami rujuk kembali pada istrinya.

dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi pada 2, yaitu: talak sunni dan talak bid'i. talak sunni adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan selainnya. adapun talak bid'i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.

dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak dibagi menjadi dua. yaitu talak raj'i dan talak ba'in.

a. talak raj'i
adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2) yang belum habis masa iddahnya. dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa iddah istri belum habis.

b. talak ba'in
adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya. dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra.

talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru. sedangkan talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. oleh karena itu nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh rasulullah SAW. dalam salah satu haditsnya.

Talak dua: pernyataan talak yang dijatuhkan sebanyak dua kali dan memungkinkan suami rujuk dengan istri sebelum selesai masa idah

Talak tiga: pernyataan talak yang bersifat final. Suami dan istri tidak boleh rujuk lagi, kecuali sang istri pernah dikawini oleh orang lain lalu diceraikan olehnya.

2. Khuluk

Perpisahan antara suami dan isteri melalui tebus talak sama ada dengan menggunakan lafaz talak atau khuluk.

Pihak isteri boleh melepaskan dirinya daripada ikatan perkahwinan mereka jika ia tidak berpuas hati atau lain-lain sebab.

Pihak isteri hendaklah membayar sejumlah wang atau harta yang dipersetujui bersama dengan suaminya, maka suaminya hendaklah menceraikan isterinya dngan jumlah atau harta yang ditentukan.


Hukum khuluk adalah berdasarkan surah al-Baqarah ayat 229 : “Tidak halal bagi kamu mengambil apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka suatu jua pun, kecuali jika takut kedua-duanya tidak akan mengikut peraturan Allah s.w.t.. Jika kamu takut bahawa tidak akan mengikut peraturan Allah maka tiadalah berdosa kedua-duanya tentang barang yang jadi tebus oleh perempuan.”

Talak boleh jatuh dengan menyebut “Saya menceraikan kamu dengan bayaran RM 10,000,” dan isterinya menjawab, “Saya menerimanya.” Apabila suami melafazkan demikian, dan isterinya menyahut tawaran itu, dengan serta-merta jatuhlah talak dengan khuluk dan isterinya wajiblah beridah. Suami isteri hanya boleh merujuk dengan akad nikah baru sahaja.

Tujuan khuluk :

a. Memelihara hak wanita

b. Menolak bahaya kemudaratan yang menimpanya

c. Memberi keadilan kepada wanita yang cukup umurnya melalui keputusan mahkamah.

3. Fasakh

fasakh menurut bahasa ialah rosak atau putus.

Manakala menurut syarak pula, pembatalan nikah disebabkan oleh sesuatu sifat yang dibenarkan syarak, misalnya, perkahwinan suami isteri yang difasakhkan oleh kadi disebabkan oleh suaminya tidak mempu memberi nafkah kepada isterinya. Fasakh tidak boleh mengurangkan bilangan talaknya. Fasakh hanya boleh dituntut oleh suami sekiranya terdapat beberapa sebab atau kecacatan yang terdapat pada pihak isterinya. Mengikut mazhab Shafie, seorang isteri boleh menuntut fasakh melalui kadi atau mahkamah disebabkan oleh kekurangan suaminya seperti gila (berkekalan atau sekejab); penyakit kusta; penyakit sopak; penyakit yang menghalang mereka daripada melakukan persetubuhan; suami tidak mampu memberi nafkah belanja kepada isterinya seperti makan dan minum serta tempat tinggal, pakaian, memberi mahar dengan cara tunai sebelum bersetubuh kerana kepapaan atau muflis atau sebagainya; suami tidak bertanggungjawab dengan meninggalkan isterinya terlalu lama dan tidak memberi khabar berita; suami yang menzalimi dan memudaratkan ist
suami yang fasik serta melakukan maksiat terhadap Allah dan tidak menunaikan kewajipan kepada Allah; dan murtad salah seorang (suami atau isteri).

Cara melakukan fasakh :

a. Jika suami atau isteri mempunyai sebab yang megharuskan fasakh

b. Membuat aduan kepada pihak kadi supaya membatalkan perkahwinan mereka

c. Jika dapat dibuktikan pengaduan yang diberikan adalah betul, pihak kadi boleh mengambil tindakan membatalkannya

d. Pembatalan perkahwinan dengan cara fasakh tidak boleh dirujuk kembali melainkan dengan akad nikah yang baru.

4. Li'an

Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih).

Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.

Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an. “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Sahma' di hadapan Nabi saw. Kemudian Nabi saw bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya, masihkah dituntut untuk pergi mencari bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, WALLADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM (dan orang-orang yang menuduh istri-isterinya) sampai padat IN KAANA MINASH SHAADIQIN (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar). Kemudian Nabi saw beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal menemui isterinya. Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian, lantas Nabi saw bersabda,

“Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah di antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?” Kemudian isterinya bangun lalu memberikan kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.” Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari." Kemudian terus berlalu begitu. Lantas Nabi saw bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya besar juga maka ia(bayi itu) milik Syarik bin Sahma’.” Ternyata dia datang persis yang disabdakan Nabi saw. Kemudian Beliau bersada, “Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia.”

Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :

a. Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”

b. Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya"

c. Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.”

d. Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada istrinya.

e. Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.”

5. Zihar

Zhihar menurut syariat adalah apabila seorang suami menyamakan isterinya dengan seorang wanita yang haram dinikahi olehnya selama-lamanya, atau menyamakannya dengan bagian-bagian tubuh yang diharamkan untuk dilihatnya, seperti punggung, perut, paha dan lainnya seperti perkataannya kepada isterinya,”kamu bagiku seperti punggung ibuku atau saudara perempuanku” atau dengan menghilangkan kalimat,”bagiku” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 7124)

Adapun perkataan seorang isteri kepada suaminya,”kamu seperti ayahku” atau “kamu seperti punggung ayahku” maka kebanyakan ulama mengatakan bahwa hal itu tidaklah termasuk zhihar, namun mereka berbeda pendapat tentang apakah wajib atasnya kafarat dan jenis kafaratnya?

Apabila seorang isteri mengatakan kepada suaminya,”anda bagiku seperti punggung ayahku” atau seperti seorang wanita yang mengatakan,”Jika aku menikah dengan seorang laki-laki maka orang itu bagiku seperti punggung ayahku” maka hal itu bukanlah zhihar.

Al Qodhi mengatakan,”hal itu tidak termasuk zhihar.” Ini adalah perkataan kebanyakan ulama, diantaranya Malik, syafi’i, ishaq, abu tsaur. Sementara Az Zuhri dan al Auza’i mengatakan bahwa itu adalah zhihar, hal ini diriwayatkan dari al Hasan dan an Nakh’i, kecuali an nakh’i yang mengatakan,”Jika si isteri mengatakan hal itu setelah pernikahan maka tidaklah masalah. Barangkali mereka berargumentasi karena adanya salah satu dari mereka berdua yang menzhihar yang lainnya. Firman allah swt :


Artinya : “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka.” (QS. Al Mujadalah : 3), mereka mengkhususkan zhihar bagi para lelaki karena perkataan itu mengakibatkan pengharaman terhadap isterinya. Suami pun memiliki hak mengangkatnya. Zhihar ini dikhususkan bagi suami seperti halnya talak.

Dan jika hal itu terjadi maka sekelompok ulama meriwayatkan dari Ahmad yang mengatakan wajib atas isterinya itu kafarat zhihar, sebagaimana riwayat al Asram dengan sanadnya dari Ibrahim bahwasanya Aisyah binti Thalhah berkata,”Jika aku menikah dengan Mush’ab bin Zubeir maka ia bagaikan punggung ayahku” kemudian Aisyah bertanya kepada penduduk Madinah dan mereka berpendapat wajib atasnya kafarat.

Riwayat yang kedua menyebutkan bahwa tidak wajib atasnya zhihar, ini adalah pendapat Malik, Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur karena itu adalah perkataan yang munkar dan mengandung dusta sehingga ia bukanlah zhihar dan tidak wajib atasnya kafarat, seperti halnya cacian atau tuduhan.

Riwayat ketiga adalah wajib atasnya kafarat sumpah. Ahmad berkata bahwa Atho’ mempunyai pendapat yang baik dengan menjadikannya seperti kududukan orang yang mengharamkan sesuatu atas dirinya, seperti makanan atau yang sejenisnya.

Ini adalah qiyas dengan pendapat Ahmad dan yang yang sejenisnya karena ia bukanlah zhihar, dan sebatas perkataan munkar dan dusta yang tidak mewajibkan atasnya kafarat zhihar sebagaimana semua perkataan dusta.

Tidak diragukan lagi bahwa yang paling hati-hati adalah membayar kafarat yang paling berat demi keluar dari perbedaan diatas akan tetapi hal ini bukanlah kewajiban karena ia tidaklah ada nashnya.

Sesungguhnya perkataan itu adalah pengharaman sesuatu yang dihalalkan tanpa terjadi zhihar seperti halnya orang yang mengharamkan budak perempuannya atau makananannya, inilah pendapat Atho’.

Dan apabila kita mewajibkan atas wanita itu kafarat maka tidaklah kafarat menjadi wajib atasnya sehingga suaminya menyetubuhinya dan wanita itu adalah orang yang diajak untuk bersetubuh. Apabila suaminya menceraikannya atau salah satu dari keduanya meninggal sebelum suaminya menyetubuhinya atau memaksanya untuk bersetubuh maka tidak ada kafarat atasnya karena hal itu adalah sumpah yang tidak ada kafarat atasnya sebelum dia menyalahi sumpahnya seperti sumpah-sumpah lainnya. (www.islamweb.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut