06 Februari 2013

Majelis Reboan Masjid Alatief Tanggal 6 Feb 2013

Event : Majelis Reboan Masjid Alatief
Tanggal : 6 Feb 2013
Pembicara : Ustadzah Neno Warisman
Tema : 4 Ciri wanita mandiri

4 Ciri wanita mandiri :

1. Truth

---

Belajar dari kemandirian ibu Khadijah : Bervisi kedepan

---

Nama nama istri Rasulullah

Isteri-isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

1. Khadijah binti Khuwailid

2. Saudah binti Zum'ah

3. Aisyah binti Abu Bakar

4. Hafsah binti Omar Al-Khattab

5. Zainab bin Jahsyin

6. Zainab binti Khuzaimah

7. Ummu Salamah (Hindon binti Abi Umaiyah)

8. Ummu Habibah (Ramlah binti Abi Sufian)

9. Juwairiyah binti Al-Harith

10. Maimunah binti Al-Harith

11. Safiah binti Hoiyi bin Ahtab

12. Mariyah Al-Qibtiyah

Anak-anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Khadijah :

1. Al-Qasim

2. Abdullah

3. Zainab

4. Ruqaiyah

5. Ummu Kalthum

6. Fatimah

Anak Rasulullah dengan Mariyah Al-Qibtiyah :

1. Ibrahim

---

Tentang makam Khadijah

Di Ma'la, itulah, beliau beristirahat panjang. Tepatnya, di kompleks pemakaman Ma'la yang terletak di sebelah Timur Masjidilharam dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 15 menit. Dari segi arsitektur, tak ada yang istimewa di makam ini. Bahkan, makam ini pun nyaris tanpa nama. Ma`la merupakan nama salah satu kawasan di Kota Mekah dan sejak zaman dahulu sudah menjadi tempat pemakaman nenek moyang bangsa Arab.

Kompleks pemakaman ini terletak di antara pemukiman warga yang lumayan padat. Untuk memisahkan dengan lingkungan sekitar, kawasan pemakaman Ma'la dikelilingi tembok setinggi lebih kurang satu setengah meter. Satu lubang makam digunakan secara bergantian. Bila ada yang meninggal, jenazah akan dikuburkan di makam yang sebelumnya dijadikan kubur orang lain. Banyak jamaah Indonesia yang dimakamkan di tempat ini.

Ma`la tidak seperti pemakaman umum yang terdapat di Indonesia. Semua kuburan di pemakaman ini tanpa nisan dan gundukan. Hanya sekumpulan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa saja yang diletakkan sebagai penanda di atas kuburan yang rata dengan tanah itu. Di sini semua bentuk dan ukuran makam sama. Hanya tanah rata yang ditandai dengan sebuah batu. Tak lebih. Tak terkecuali, makam Khadijah. Bahkan, tak banyak yang tahu pasti, di sebelah mana tepatnya keberadaan makam Khadijah di Ma'la. Di pemakaman ini, tidak terdapat ruang atau tempat khusus sebagai penanda tempat Khadijah bersemayam.

Jamaah yang berziarah, hanya bisa mengintip dari balik pagar besi dan menerka-nerka yang mana makam Khadijah. Seorang teman berkata, makam Khadijah dekat dengan pagar keliling, satu-satunya makam yang berada di bawah lindungan pohon. Mata saya terpaku ke sana. Beberapa jamaah khusyuk berdoa, beberapa berurai air mata. Saya, lebih sibuk dengan pikiran saya sendiri; wanita agung itu sungguh sederhana, bahkan membawa kesederhanaan dan kebersahajaannya hingga ke liang kubur. Wanita yang dijamin surga itu, tak pernah meminta diistimewakan padahal perjuangannya tak kalah keras dibanding yang lain hanya karena dia istri Rasulullah Saw

---

Kisah tentang Khadijah menenangkan Rasulullah ketika mendapatkan wahyu yang pertama

Rasulullah dibuat terkejut dengan apa yang dilihat dan didengar dan juga terdengar gemuruh suara dari langit. Malaikat Jibril yang menampakkan dirinya dalam bentuk aslinya berkata kepada Rasululah SAW, "Muhammad! Engkau adalah utusan Allah dan aku adalah Malaikat Jibril!" Setelah menampakkan diri, malaikat itu kemudian menghilang dari pandangan Rasulullah Saw. Beliaupun bergegas menuruni gunung dan langsung menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, Khadijah sangat terkejut telah mendapati suaminya dalam keadaan ketakutan dan gelisah seperti itu. Suaminya terlihat tidak mampu berbicara dan bergemetar. Rasulullah berulangkali berkata kepada istrinya, "Selimuti aku! Selimuti aku!" Khadijah pun membantu beliau ke tempat tidur dan menyelimutinya. Rasulullah memutuskan untuk beristirahat sejenak.

---

Khadijah memiliki ciri ciri :

a. Mandiri secara spiritual

b. Mandiri secara finansial

---

Kisah tentang Siapakah saudara Rasulullah ?

Suasana di majlis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membatu. Mereka seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Saidina Abu Bakar. Itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihi melafazkan pengakuan demikian. Seulas senyuman yang sedia terukir dibibirnya pun terungkai. Wajahnya yang tenang berubah warna. "Apakah maksudmu berkata demikian wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu? " Saidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut fikiran. "Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan)," suara Rasulullah bernada rendah. "Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain pula. Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian baginda bersuara, "Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasulullah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka."

Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan 'ikhwan' baginda: "Siapakah yang paling ajaib imannya?" tanya Rasulullah. "Malaikat," jawab sahabat. "Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka sentiasa hampir dengan Allah," jelas Rasulullah. Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, "Para nabi." "Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka." "Mungkin kami," celah seorang sahabat. "Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada ditengah-tengah kau," pintas Rasulullah menyangkal hujah sahabatnya itu. "Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya sahaja yang lebih mengetahui," jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka. "Kalau kamu ingin tahu siapa mereka? Mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Quran dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku," jelas Rasulullah. "Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka," ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu.

---

Kebiasaan memberi hadiah yang dilakukan Rasulullah

Rasulullah SAW selalu mengirim hadiah kepada keluarganya, beliau selalu setia terhadap istrinya, Khadijah radhiallahu anha dan menjadikan hadiah sebagai sarananya, ketika beliau menyembelih seekor kambing, beliau berkata: “Kirimlah daging ini kepada teman-teman Khadijah”

---

Kecintaan Rasulullah terhadap Khadijah

Baginda Rasulullah mengalir mata, menangis mengenangkan pengorbanan Khadijah yang begitu besar dalam mengembang syiar Islam. Baginda Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak memberikan pengganti yang lebih baik dari Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku, dia percaya kepadaku ketika orang-orang menganggapku dusta, dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang mengekangnya, dan dia memberiku anak ketika isteri-isteriku yang lain tidak memberiku anak”. Sebuah Hadis lagi riwayat Ibnu Abbas menjelaskan tentang kemuliaan Khadijah, “Semulia-mulia wanita di dalam syurga ialah Khadijah binti Khuwalid, Maryam binti Imran dan Asiah isteri Raja Firaun”.

---

Belajar dari kemandirian ibu Asiyah : Berpikir positif

Qs At Tahrim : 11

Dan Allah membuat isteri Firaun perumpamaan bagi orang yang beriman, ketika ia berkata: Ya Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.

---

Kisah tentang Asiyah

Salah satu hal yang patut kita renungkan dan jadikan pelajaran adalah kisah keteguhan salah seorang putri, istri dari seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri, yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti Muzahim, istri Firaun. Alkisah di negeri Mesir, Firaun terakhir yang terkenal dengan keganasannya bertahta. Setelah kematian sang isteri, Firaun kejam itu hidup sendiri tanpa pendamping. Sampai cerita tentang seorang gadis jelita dari keturunan keluarga Imran bernama Siti Asiyah sampai ke telinganya. Firaun lalu mengutus seorang Menteri bernama Haman untuk meminang Siti Asiyah. Orangtua Asiyah bertanya kepada Siti Asiyah : “Sudikah anakda menikahi Firaun?” “Bagaimana saya sudi menikahi Firaun. Sedangkan dia terkenal sebagai raja yang ingkar kepada Allah?” Haman kembali pada Firaun. Alangkah marahnya Firaun mendengar kabar penolakan Siti Asiyah. “Haman, berani betul Imran menolak permintaan raja. Seret mereka kemari. Biar aku sendiri yang menghukumnya!”

Firaun mengutus tentaranya untuk menangkap orangtua Siti Asiyah. Setelah disiksa begitu keji, keduanya lantas dijebloskan ke dalam penjara. Menyusul kemudian, Siti Asiyah digiring ke Istana. Firaun kemudian membawa Siti Asiyah ke penjara tempat kedua orangtuanya dikurung. Kemudian, dihadapan orangtuanya yang nyaris tak berdaya, Firaun berkata: “Hei, Asiyah. Jika engkau seorang anak yang baik, tentulah engkau sayang terhadap kedua orangtuamu. Oleh karena itu, engkau boleh memilih satu di antara dua pilihan yang kuajukan. Kalau kau menerima lamaranku, berarti engkau akan hidup senang, dan pasti kubebaskan kedua orangtuamu dari penjara laknat ini. Sebaliknya, jika engkau menolak lamaranku maka engkau sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Karena ancaman itu, Siti Asiyah terpaksa menerima pinangan Firaun. Dengan mengajukan beberapa syarat : Firaun harus membebaskan orangtuanya. Firaun harus membuatkan rumah untuk ayah dan ibunya, yang indah lagi lengkap perabotannya. Firaun harus menjamin kesehatan, makan, minum kedua orangtuanya. Siti Aisyah bersedia menjadi isteri Firaun. Hadir dalam acara-acara tertentu, tapi tak bersedia tidur bersama Firaun. Sekiranya permintaan-permintaan tersebut tidak disetujui, Siti Asiyah rela mati dibunuh bersama ibu dan bapaknya. Akhirnya Firaun menyetujui syarat-syarat yang diajukan Siti Asiyah. Firaun lalu memerintahkan agar rantai belenggu yang ada di kaki dan tangan orangtua Siti Asiyah dibuka. Singkat cerita, Siti Asiyah tinggal dalam kemewahan Istana bersama-sama Firaun. Namun ia tetap tak mau berbuat ingkar terhadap perintah agama, dengan tetap melaksanakan ibadah kepada Allah Swt.

Pada malam hari Siti Asiyah selalu mengerjakan shalat dan memohon pertolongan Allah SWT. Ia senantiasa berdoa agar kehormatannya tidak disentuh oleh orang kafir, meskipun suaminya sendiri, Firaun. Untuk menjaga kehormatan Siti Asiyah, Allah SWT telah menciptakan iblis yang menyaru sebagai Siti Asiyah. Dialah iblis yang setiap malam tidur dan bergaul dengan Firaun. Firaun mempunyai seorang pegawai yang amat dipercaya bernama Hazaqil. Hazaqil amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Beliau adalah suami Siti Masyitoh, yang bekerja sebagai juru hias istana, yang juga amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Namun demikian, dengan suatu upaya yang hati-hati, mereka berhasil merahasiakan ketaatan mereka terhadap Allah. Dari pengamatan Firaun yang kafir. Suatu kali, terjadi perdebatan hebat antara Firaun dengan Hazaqil, disaat Firaun menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang ahli sihir, yang menyatakan keimanannya atas ajaran Nabi Musa as. Hazaqil menentang keras hukuman tersebut.

Mendengar penentangan Hazaqil, Firaun menjadi marah. Firaun jadi bisa mengetahui siapa sebenarnya Hazaqil. Firaun lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Hazaqil. Hazaqil menerimanya dengan tabah, tanpa merasa gentar sebab yakin dirinya benar. Hazaqil menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tangan terikat pada pohon kurma, dengan tubuh penuh ditembusi anak panah. Sang istri, Masyitoh, teramat sedih atas kematian suami yang amat disayanginya itu. Ia senantiasa dirundung kesedihan setelah itu, dan tiada lagi tempat mengadu kecuali kepada anak-anaknya yang masih kecil.

Suatu hari, Masyitoh mengadukan nasibnya kepada Siti Asiyah. Di akhir pembicaraan mereka, Siti Asiyah menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa iapun menyembunyikan ketaatannya dari Firaun. Barulah keduanya menyadari, bahwa mereka sama-sama beriman kepada Allah SWT dan Nabi Musa as. Pada suatu hari, ketika Masyitoh sedang menyisir rambut puteri Firaun, tanpa sengaja sisirnya terjatuh ke lantai. Tak sengaja pula, saat memungutnya Masyitoh berkata : “Dengan nama Allah binasalah Firaun.” Mendengarkan ucapan Masyitoh, Puteri Firaun merasa tersinggung lalu mengancam akan melaporkan kepada ayahandanya. Tak sedikitpun Masyitoh merasa gentar mendengar hardikan puteri. Sehingga akhirnya, ia dipanggil juga oleh Firaun.

Saat Masyitoh menghadap Firaun, pertanyaan pertama yang diajukan kepadanya adalah : “Apa betul kau telah mengucapkan kata-kata penghinaan terhadapku, sebagaimana penuturan anakku. Dan siapakah Tuhan yang engkau sembah selama ini?” “Betul, Baginda Raja yang lalim. Dan Tiada Tuhan selain Allah yang sesungguhnya menguasai segala alam dan isinya.” jawab Masyitoh dengan berani. Mendengar jawaban Masyitoh, Firaun menjadi teramat marah, sehingga memerintahkan pengawalnya untuk memanaskan minyak sekuali besar. Dan saat minyak itu mendidih, pengawal kerajaan memanggil orang ramai untuk menyaksikan hukuman yang telah dijatuhkan pada Masyitoh. Sekali lagi Masyitoh dipanggil dan dipersilahkan untuk memilih : jika ingin selamat bersama kedua anaknya, Masyitoh harus mengingkari Allah. Masyitoh harus mengaku bahwa Firaun adalah Tuhan yang patut disembah. Jika Masyitoh tetap tak mau mengakui Firaun sebagai Tuhannya, Masyitoh akan dimasukkan ke dalam kuali, lengkap bersama kedua anak-anaknya.

Masyitoh tetap pada pendiriannya untuk beriman kepada Allah SWT. Masyitoh kemudian membawa kedua anaknya menuju ke atas kuali tersebut. Ia sempat ragu ketika memandang anaknya yang berada dalam pelukan, tengah asyik menyusu. Karena takdir Tuhan, anak yang masih kecil itu dapat berkata, “Jangan takut dan sangsi, wahai Ibuku. Karena kematian kita akan mendapat ganjaran dari Allah SWT. Dan pintu surga akan terbuka menanti kedatangan kita.” Masyitoh dan anak-anaknyapun terjun ke dalam kuali berisikan minyak mendidih itu. Tanpa tangis, tanpa takut dan tak keluar jeritan dari mulutnya. Saat itupun terjadi keanehan. Tiba-tiba, tercium wangi semerbak harum dari kuali berisi minyak mendidih itu. Siti Asiyah yang menyaksikan kejadian itu, melaknat Firaun dengan kata-kata yang pedas. Ia pun menyatakan tak sudi lagi diperisteri oleh Firaun, dan lebih memilih keadaan mati seperti Masyitoh.

Mendengar ucapan Isterinya, Firaun menjadi marah dan menganggap bahwa Siti Asiyah telah gila. Firaun kemudian telah menyiksa Siti Asiyah, tak memberikan makan dan minum, sehingga Siti Asiyah meninggal dunia. Hal menarik yang bisa kita jadikan perenungan di antaranya bahwa Asiyah perempuan cantik yang hidup pada masa Nabi Musa dan beriman kepada Allah SWT. Ia tak kuasa menolak menjadi istri Firaun karena hal buruk akan menimpa keluarganya. Meski menjadi istri kesayangan Firaun, sebenarnya raja lalim itu tak pernah berhasil membujuknya. Bahkan, Asiyah berhasil mempertahankan keimanannya tanpa sepengetahuan Firaun.

Asiyah pun menjadi inspirasi pengambilan keputusan Firaun dalam beberapa kesempatan penting. Keimanan dan kecerdasannya mendorongnya mengoptimalisasi peran di mata banyak hunafa (orang-orang yang hanif) Bani Israil yang diselamatkan berkat usulannya. Keputusan mengasuh Musa kecil juga atas inisiatif Asiyah. Allah pun membantunya dengan menurunkan rasa cinta Firaun kepada Musa. Bagi Asiyah, hidup dalam lingkungan musuh Allah bukanlah penghalang menjadi Perempuan baik dan pejuang dakwah yang gigih. Ia bergabung dalam barisan dakwah Nabi Musa dan pada akhirnya mendatangkan murka Firaun.

Alangkah beratnya ujian beliau, disiksa oleh suaminya sendiri. Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya. Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Firaun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Siti Asiyah sempat berdoa kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya :

QS At Tahrim : 11

“Dan Allah membuat isteri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata : “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”

---

Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdoa memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam Al-Quran. Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Firaun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Firaun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.

Asiyah berhasil mewarnai lingkungannya, bukan sebaliknya malah terwarnai dengan perilaku tidak benar, padahal kalau saja Asiyah nunut saja dengan Firaun maka hidupnya akan jauh lebih “bahagia” dan “sejahtera”.

Betapa banyak istri-istri sekarang yang diam saja tidak menasehati apabila suaminya berlaku tidak benar, malah ikut-ikutan atau diam saja, dengan pertimbangan kalau menasehati suami khawatir pendapatannya akan dikurangi atau malah dihentikan oleh suami. Betapa banyak suami-suami yang bersikap seperti Firaun abad 20, yang menyiksa istrinya lahir dan juga batin dan melakukannya berulang-ulang seperti tak menyadari bahwa yang dilakukannya persis seperti Firaun kepada Asiyah na’udzubillah. Akhirnya, Asiyah menutup riwayat hidupnya dalam siksaan keji suaminya sendiri. Sebuah bentuk pengorbanan yang total terhadap Allah dan Ketaatan yang paripurna dari seorang hamba kepada Sang Pencipta.

Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.

Tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.

Tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.

Jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinan kita. Janganlah penilaian manusia dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.

Demikian kisah Siti Asiah dan Masyitoh. Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.”

---

Wanita mencintai keindahan, karena itu sunatullah

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”

---

Apakah kita ingin hidup selamanya? 1000 tahun ? Tidak, yang benar adalah diberikan keberkahan usia

Tentang puisi

Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

(oleh Chairil Anwar, Maret 1943)

---

Belajar kemandirian Maryam : Menjaga kehormatan

QS At Tahrim : 12

dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

---

Belajar dari Siti Hajar : Kemandirian dalam kemalangan

Nabi Ibrahim dan Siti Sarah sudah lama berumah tangga, namun tidak dikurniakan zuriat. Siti Sarah mencadangkan supaya Nabi Ibrahim berkahwin seorang lagi dan merestui Siti Hajar menjadi madunya. Pada mulanya, Nabi Ibrahim keberatan kerana cintanya terhadap Siti Sarah tidak luntur. Namun, Siti Sarah berkeras dan akhirnya, Nabi Ibrahim bersetuju memperisterikan Siti Hajar. Apabila Siti Hajar hamil, Nabi Ibrahim amat gembira dan mengharapkan Siti Sarah turut berasa gembira. Namun, berita kehamilan Siti Hajar itu membuatkan madunya cemburu. Kian hari, rasa cemburunya kian menebal, terutama selepas kelahiran Ismail hingga Siti Sarah mendesak suaminya membawa Siti Hajar dan anaknya jauh dari tempat itu.

Nabi Ibrahim dan Siti Hajar serta anak mereka lantas menuju ke Baitul Haram. Siti Hajar adalah lambang wanita sejati yang taat kepada suami dan perintah Allah. Segala kesukaran, kepahitan, keresahan yang ditempuh Siti Hajar bersama anaknya kecilnya, Ismail ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di tengah-tengah padang pasir kontang, adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri kepada peraturan suaminya. Inilah iktibar kisah daripada al-Quran yang menggambarkan seorang isteri contoh yang menjadi lambang kewanitaan sejati. Kalau wanita Islam hari ini bersemangat kental seperti Siti Hajar, tentulah mereka akan sentiasa bahagia dan tidak akan mengenakan sekatan tertentu terhadap suami.

Contoh yang ditunjukkan oleh Siti Hajar, yang sanggup menempuh pelbagai kesusahan hidup semata-mata kerana taatkan perintah Allah dan suaminya, tidak syak lagi suatu contoh cukup baik untuk diteladani. Kisah ketabahan Siti Hajar, turut mempunyai kaitan dan falsafah penting ketika umat Islam menunaikan ibadat haji sekarang. Sebab itulah bagi jemaah yang berada di tanah suci, sama ada ketika mengerjakan umrah atau haji, mereka difardu atau dirukunkan selepas tawaf di Batitullah al-Haram, menunaikan sai iaitu berulang alik dari Safar ke Marwah sebanyak tujuh kali. Ia bertujuan mengingati kembali falsafah penderitaan yang ditanggung Siti Hajar itu.

Berikut adalah sebahagian kisah pengorbanan Siti Hajar. Dalam bahang terik mata hari di tengah-tengah padang pasir yang kering kontang, Nabi Ibrahim, menunggang unta bersama Siti Hajar. Perjalanan agak sukar, namun hal itu tidak memberi kesan kepada mereka. Yang lebih diharapkannya ialah ketabahan hati untuk meninggalkan Siti Hajar dan bayinya di bumi gersang itu. Sepanjang perjalanan, dikuatkan hatinya untuk terus bertawakal. Dia yakin, Allah tidak akan menganiaya hamba-Nya. Pasti ada hikmah di sebalik perintah itu. Selepas kira-kira enam bulan perjalanan, tibalah mereka di Makkah. Nabi Ibrahim memilih sebuah lembah di tengah-tengah padang pasir. Nabi Ibrahim turun dari untanya dan mengikat tali unta di sebatang pokok tamar. Bahang sinaran matahari bukan kepalang. Tekaknya yang dari tadi kehausan, sedikit pun tidak diendahkannya. Yang difikirkannya, bagaimanakah cara memberitahu isterinya mengenai perintah Allah itu. Sepanjang perjalanan lidahnya seolah-olah kelu untuk berkata-kata.

Selepas Siti Hajar diturunkan, tanpa berlengah lagi Nabi Ibrahim bersiap sedia untuk pergi. Apabila Siti Hajar melihat perlakuan suaminya, yang bergegas-gegas mahu pergi, ditariknya jubah suaminya sambil merayu-rayu: "Wahai suamiku, apakah aku akan ditinggalkan bersama anakmu di sini?" Tanpa memandang wajah isterinya, Nabi Ibrahim hanya mampu menganggukkan kepala. "Oh kiranya kerana dosaku menyebabkan engkau bertindak begini, ampunkanlah aku. Aku tidak sanggup ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir yang kering kontang ini." Nabi Ibrahim menjawab: "Tidak wahai isteriku, bukan kerana dosamu" Siti Hajar bertanya lagi: "Kalau bukan kerana dosaku, bagaimana dengan anak ini. Anak ini tidak tahu apa-apa. Tergamakkah engkau meninggalkannya?" Kepiluan dan kesedihan Nabi Ibrahim, hanya Allah yang tahu. Katanya: "Tidak, bukan itu maksudku. Tapi apa dayaku... ketahuilah, ini semua adalah perintah Allah."

Apabila disebut perintah Allah, Siti Hajar terdiam. Kelu lidahnya untuk terus merayu. Terbayang olehnya penderitaan yang bakal dihadapi sendirian nanti. Dia yakin kalau tidak kerana perintah Allah, masakan sanggup suaminya meninggalkan dia serta anaknya di situ. Siti Hajar sedaya upaya menguatkan pergantungan dan pertolongan kepada Allah. Namun hatinya masih tertanya-tanya, apakah hikmah di sebalik perintah Allah itu? Ketika gelodak hatinya semakin memuncak, dengan rahmat Allah, disingkapkan penglihatan Siti Hajar ke suatu masa akan datang. Digambarkan tempat itu nantinya akan didatangi oleh manusia dari serata pelosok dunia, yang berduyun-duyun datang untuk membesarkan Allah. Melihat peristiwa itu, terpujuklah hatinya. Cinta dengan Allah, dengan menegakkan agama-Nya, perlukan pengorbanan. Lalu dengan hati yang berat tetapi penuh keyakinan, Siti Hajar berkata kepada suaminya: "Jika benar ia adalah perintah Allah, tinggalkanlah kami di sini. Aku reda ditinggalkan." Suara Siti Hajar mantap sambil mengesat air matanya. Ditabahkan hatinya dengan berkata: "Mengenai keselamatan kami, serahkanlah urusan itu kepada Allah. Pasti Dia akan membela kami. Masakan Dia menganiaya kami yang lemah ini." Siti Hajar menggenggam tangan suaminya. Kemudian dikucupnya, minta reda di atas segala perbuatannya selama mereka bersama. "Doakanlah agar datang pembelaan Allah kepada kami," kata Siti Hajar.

Nabi Ibrahim terharu dan bersyukur. Isterinya, Siti Hajar memang wanita terpilih. Dia segera mengangkat tangannya untuk berdoa: "Ya Tuhan kami. Aku tinggalkan anak dan isteriku di padang pasir yang tandus tanpa pohon berkayu dan buah-buahan. Ya Tuhan kami, teguhkanlah hati mereka dengan mendirikan sembahyang, jadikanlah hati manusia tertarik kepada mereka, kurniakanlah rezeki pada mereka daripada buah-buahan mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu." Menitis air matanya mendoakan keselamatan anak dan isteri yang dicintai. Hati suami mana yang sanggup meninggalkan anak dan isteri di padang pasir tandus yang sejauh enam bulan perjalanan dari tempat tinggalnya. Namun atas keyakinan padu pada janji Allah, ditunaikan juga perintah Allah walaupun risiko yang bakal dihadapi adalah besar. Selesai berdoa, tanpa menoleh ke arah isteri dan anaknya, Nabi Ibrahim terus meninggalkan tempat itu dengan menyerahkan mereka terus kepada Allah. Tinggallah Siti Hajar bersama anaknya yang masih merah dalam pelukannya. Diiringi pemergian suaminya dengan linangan air mata dan syukur. Ditabahkan hati untuk menerima segala kemungkinan yang berlaku.

Tidak lama selepas pemergian Nabi Ibrahim, bekalan makanan dan minuman pun habis. Air susunya juga kering sama sekali. Anaknya Ismail menangis kehausan. Siti Hajar hampir buntu. Di mana hendak diusahakannya air di tengah padang pasir yang kering kontang itu? Sedang dia mencari-cari sumber air, dilihatnya dari jauh seperti ada air bertakung. Dia berlari ke arah sumber air itu. Tetapi apa yang dilihatnya hanyalah fatamorgana. Namun Siti Hajar tidak berputus asa. Dari tempat lain, dia ternampak seolah-olah di tempat di mana anaknya diletakkan memancar sumber mata air. Dia pun segera berlari ke arah anaknya. Tetapi sungguh malang, yang dilihatnya adalah fatamorgana. Tanpa disedari dia berulang-alik sebanyak tujuh kali antara dua bukit, Safa dan Marwa untuk mencari sumber air. Tubuhnya keletihan berlari ke sana ke mari mencari sumber air, namun tiada tanda-tanda dia akan mendapat air. Sedangkan anak yang kehausan itu terus menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tiba-tiba dengan rahmat Allah, sedang Siti Hajar mencari-cari air, terpancutlah air dari dalam bumi di hujung kaki anaknya Ismail.

Pada waktu itu gembiranya hati Siti Hajar bukan kepalang. Dia pun mengambil air itu dan terkeluar dari mulutnya, "Zami, zami, zami.." yang bermaksud, berkumpullah, kumpullah. Seolah-olah dia berkata kepada air itu, "Berkumpullah untuk anakku." Selepas peristiwa itu, kabilah yang berlalu akan berhenti untuk mengambil air. Ada pula yang terus bermastautin di lembah Bakkah (Makkah) kerana dekat dengan sumber air itu. Begitulah kehendak Allah. Sengaja didatangkan sebab musabab untuk menjadikan Islam gemilang dan Makkah menjadi tumpuan manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut