06 Oktober 2010

Majelis Reboan Masjid AlatieF Pasaraya Blok M Lt 5 Tanggal 6 Oktober 2010

Event : Majelis Reboan Masjid AlatieF Pasaraya Blok M Lt 5
Tanggal : 6 Oktober 2010
Pembicara : DR Ahmad Hatta
Tema: Tafsir Qs An Nas

Keutamaan surat An Naas

Surat ini termasuk golongan surat Makkiyah (turun sebelum hijrah) menurut pendapat para ulama di bidang tafsir, diantaranya Ibnu Katsir Asy Syafi’i dan Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’dy.

Surat An Naas merupakan salah satu Al Mu’awwidzataini. Yaitu dua surat yang mengandung permohonan perlindungan, yang satunya adalah surat Al Falaq. Kedua surat ini memiliki kedudukan yang tinggi diantara surat-surat yang lainnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Telah diturunkan kepadaku ayat-ayat yang tidak semisal dengannya yaitu Al Mu’awwidataini (surat An Naas dan surat Al Falaq).” (H.R Muslim)

Qul A’udzu bi rabbi an-Naas (katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Manusia”)

“Katakanlah” wahai nabi yang mulia, “Aku berlindung pada Rabb an-Nas”, yaitu dzat yang memperbaiki dan mengatur manusia. Di sini secara khusus Allah menyebut diri-Nya sebagai Rabb manusia, padahal sesungguhya Dia adalah Rabb seluruh makhluk karena adanya istiadzah (mohon perlindungan) dari bisikan yang ada di dalam hati manusia. Karena itulah sepertinya dikatakan, Aku berlindung dari kejahatan yang membisiki manusia kepada Tuhan, yaitu sesembahan mereka.

Ada sebagian ulama yang membaca dua surat ini dengan membuang hamzah, dan memindahkan harakat fathahnya ke huruf lam.

Maliki an-Naas (“Raja manusia”)

Kalimat ini merupakan ‘athf bayan. Adanya kalimat ini untuk menjelaskan bahwa tarbiyah Allah kepada manusia dilakukan dengan kekuasaan-Nya yang sempurna dan tindakan yang menyeluruh, bukan seperti halnya tarbiyah dari pemerintah kepada rakyatnya. Maka ayat ini tidak boleh dibaca dengan adanya alif setelah mim, ( maaliki an-naas) sebagaimana di dalam surat al-Fatihah ada kalimat ( maaliki yaum ad-diin). Perbedaan di antara keduanya adalah, bahwa kata-kata Rabb an-Nas mencakup makna maalik (penguasa) bagi mereka, karena itulah yang siebut selanjutnya harunys malik (raja). Untuk memberikan pengertian bahwa Dia adalah penguasa dan pemilik seara bersamaan sekaligus.

Bila ada pertanyaan, bukankah di dalam surat al-Fatihah Allah berfirman Rabb al-Alamin kemudian Allah berfirman Maalik yaum ad-Din. Dengan demikian maka di sana terdapat pengulangan. Saya jawab pertanyaan itu; lafal tersebut menunjukkan bahwa Allah adalah Rabb semesta alam yang sekarang ini telah ada dan Dia adalah “Penguasa di hari pembalasan”. Kata Rabb di sana diidlafahkan pada sesuatu yang saat ini telah ada, sedangkan Maalik diidlafahkan kepada sesuatu yang akan ada di hari akhirat. Maka di sana tak terjadi pengulangan, dan jelaslah perbedaannya. Selain itu, qira’at itu dibolehkan mengikuti turunnya, bukan berdasarkan qiyas.

Ilaahi an-Naas (“Ilah (tuhan) manusia” )

Kalimat ini juga merupakan ‘Athf Bayani. Adanya kalimat ini untuk menjelaskan bahwa kerajaan-Nya itu dengan cara penyembahan yang didasarkan atas uluhiyah yang mencakup kekuasaan yang sempurna untuk mengatur segalanya, termasuk di dalamnya menghidupkan dan mematikan, mengadakan dan meniadakan. Sebab itulah pertama kali Allah disebut dengan Rabb an-Nas, Rabb bisa jadi Malik bisa juga bukan, maka diterangkan bahwa Dia adalah Malik an-Nas. Kadang-kadang raja (malik) bisa menjadi tuhan bisa pula tidak, maka Dia menerangkan dengan firman-Nya bahwa Dia adalah Ilah an-Nas. Karena hak ketuhanan itu khusus bagi Allah, yang tiada serikat bagi-Nya.

Dan juga, yang pertama-tama dikenal oleh seorang hamba tentang sesembahannya, adalah keadaan-Nya sebagai pemberi kenikmatan dari sisi-Nya, baik secara dhahir maupun bathin. Inilah yang dimaksud dengan Rabb. Kemudian dari pengenalan sifat ini berganti pada pengenalan akan ketidakbutuhan-Nya pada makhluk sehingga menghasilkan pengetahuan bahwa Dia adalah Malik, sebab Dia adalah dzat yang dibutuhkan oleh makhluk tetapi Dia sendiri tidak membutuhkan yang lain. Selanjutnya hamba-Nya akan mengetahui bahwa Dia yang menundukkan akal dalam keperkasaan-Nya dan keagungan-Nya, sehingga ia mengetahui bahwa Allah adalah ilah (tuhan) yang sesungguhnya.

Min syarri al-waswasa al-Khannas (Dari kejahatan al-waswas al-khonnas).

Al-Waswas maksudnya adalah yang membisikkan. Tegasnya adalah syetan. Al-Khonnas adalah orang yang mundur ketika seseorang menyebut asma Rabb (tuhan)-nya.

Mewaqafkan bacaan di sini dipandang cukup bagi orang yang berpendapat bahwa ayat setelahnya marfu’ atau menashabkannya. Tetapi bagi orang yang menjadikan ayat selanjutnya adalah na’t bagi kata al-waswas, tidak boleh mewaqafkan.

Alladzi yuwaswisu fii shuduri an-Naas (Yang membisikkan ke dalam dada an-Nas)

Maksudnya adalah membisikkan ke dalam hati orang yang lalai dari mengingat Allah. Semestinya di akhir kata an-nas ada huruf ya’, tetapi huruf itu dihilangkan sebagaimana dihilangkannya huruf ya’ pada firman Allah: Yauma Yad’u ad-Da’i (Hari ketika orang yang menyeru itu menyeru)

Mina al-Jinnati wan-Nas (Dari golongan jin dan manusia)

Kalimat ini merupakan penjelas dari kata an-Nasy (orang yang lalai) dari mengingat Allah. Keduanya (jin dan manusia) adalah dua macam makhluk yang disifati dengan melalaikan hak Allah. Karena itu sebagian ulama tidak perlu memaksakan diri untuk menjadikan firman-Nya min al-jinnati sebagai bayan (penjelas) bagi kata al-waswas, dan menjadikan firmannya wa an-nas sebagai ‘athf baginya.

Dengan demikian seolah-olah difirmankan; dari kejahatan al-waswas (setan) yang membisikkan, yaitu jin dan dari kejahatan manusia.

Orang yang menjadikan firman Allah min al-jinnati wa an-nas sebagai ‘athf bagi al-waswas dengan mengasumsikan huruf ‘athf maka maknanya; Aku berlindung kepada Tuhan manusia dari bisikan khonnas (orang yang mundur jika disebut asma Allah), dan (berlindung) dari jin dan manusia. Seolah-olah memohon perlindungan kepada Tuhannya dari syetan yang satu kemudian memohon perlindungan kepada Tuhannya dari semua jin dan manusia

Pada dua surat tersebut terdapat keunikan; yaitu bahwa yang dimintai perlindungan pada surat yang pertama disebutkan dengan satu sifat, yaitu Rabb al-falaq. Tetapi yang dimintakan perlindungan ada tiga hal, Ghasiq (malam), naffatsat (tiupan tukang sihir), dan hasid (penghasud). Adapun pada surat ini yang dimintai pertolongan disebut dengan tiga sifat; Rabb, Malik dan Ilah, dan yang dimintakan pertolongan hanya satu hal, yaitu al-waswas (syetan). Perbedaan antara kedua hal tersebut menunjukkan bahwa pujian itu harus diberikan sesuai dengan kadar permintaan. Permintaan pada surat yang pertama adalah keselamatan jiwa dan tubuh. Sedangkan permintaan ada ayat yang kedua adalah keselamatan agama. Ini merupakan peringatan bahwa madharat terhadap agama meskipun hanya sedikit dampaknya lebih besar daripada kemadharatan kepada keduniaan, meskipun kemadharatan itu sangat besar. Wallahu a’lam, wa laa haula wa laa quwata illa billah al-‘aliyy al-‘adhim.

abahzacky.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut