12 April 2011

Kuliah Ahad Dhuha Masjid Raya Bani Umar Tanggal 10 April 2011

Event : Kuliah Ahad Dhuha Masjid Raya Bani Umar
Tanggal : 10 April 2011
Pembicara : Ustadz Sarwat
Tema : Riba

Makna Riba

Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.

1. efinsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).

2. Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan". Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu'min yang suci berbuat zina"

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama."

“Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR Ibnu Hibban)
Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).

Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Solusi Riba : (Ubah transaksinya)

1. Bagi Hasil

Sebenarnya beda antara sistem bagi hasil yang halal dengan pembungaan uang yang diharamkan agak tipis bedanya. Tapi di mata Allah SWT, perbedaan itu sangat besar. Sebab yang satu melahirkan rahmat dan perlindungan dari-Nya, sedangkan yang satunya lagi melahirkan laknat dan murka-Nya.

Setipis apakah perbedaan di antara keduanya?

Bedanya hanya pada uang yang dijadikan sandaran dalam bagi hasil. Kalau yang dijanjikan adalahmemberikan 2,5% per bulan dari jumlah uang yang diinvestasikan, itu namanya pembungaan uang, alias riba. Hukumnya haram dan menurunkan murka.

Karena pada hakikatnya yang terjadi memang sistem pembungaan uang. Baik bersifat merugikan atau tidak merugikan. Buat kita, yang penting bukan merugikan atau menguntungkan, tetapi yang penting apakah prinsip riba terlaksana di dalam perjanjian itu.

Tapi kalau janjinya memberi 2,5% perbulan dari hasil/keuntungan, bukan dari jumlah uang yang diinvestasikan, maka itu adalah bagi hasil yang halal. Bahkan akan mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.

Beda tipis memang, bahkan banyak kalangan awam yang entah karena jahil atau pura-pura jahil, menganggap bahwa itu hanya akal-akalan semata, tapi keduanya akan berujung kepada dua muara yang berbeda.

Yang satu akan membawa pelakunya ke surga, yaitu yang dengan sistem bagi hasil sesuai syariah. Sedangkan yang satunya lagi, akan membaca pelakunya ke neraka.

Meski terkadang disebut sebagai bagi hasil, sayangnya secara prinsip tidak sesuai dengan cara syariah. Lebih tetap dikatakan sebagai riba, karena memang riba. Tidak mungkin hukumnya berubah, meski disebut dengan istilah-istilah yang menipu.

Kita harus teliti dan paham betul sistem bagi hasil yang sesuai syariah. Jangan asal menamakan bagi hasil, padahal prinsipnya justru riba yang haram.

2. Kredit

Jual beli secara kredit dibolehkan dalam hukum jual beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah: bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.

Sedangkan hadits yang sering dijadikan dasar pelarangannya, sebenarnya bukan dallil yang tepat. Sebab jual beli kredit bukan jual beli dengan dua harga, tetapi jual beli dengan satu harga. Dua harga hanyalah pilihan di awal sebelum ada kesepakatan. Tapi begitu sudah ada kesepakatan, penjual dan pembeli harus menyepakati satu harga saja, tidak boleh diubah-ubah lagi.

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi. (HR Nasai, Ibnu Hibban dan At-Tirmizi)

Secara segi kedudukan hukumnya, hadits ini digolongkan hasan oleh At-Tirmizi. Namun dari segi pengertiannya, banyak ulama berbeda pendapat.

Sebagian dari mereka ada yang menggunakan hadits ini sebagai dalil pengharam jual beli dengan sistem kredit. Karena menurut mereka, jual beli dengan sistem kredit ini adalah jual beli dengan dua harga yang berbeda. Kalau dibayar kontan harganya lebih murah, sedangkan kalau dibayar dengan cicilan, total harganya menjadi naik lantaran ada mark-up.

Mereka menyamakan transaksi kredit dengan jual beli ribawi atau bunga. Karena itu mereka mengatakan bahwa jual beli kredit itu haram.

Hukum Jual Beli Kredit

Apa yang dikatakan para ulama ini pada sebagiannya memang ada benarnya, namun bukan berarti semuanya haram. Sebab letak keharamannya bukan pada adanya dua harga, melainkan pada ketidak-jelasan harga.

Jual beli kredit dibolehkan ketika terjadi kepastian harga dan tidak terjadi dua harga. Sejak awal keduanya menyepakati satu harga saja, tidak dua harga. Dua harga itu hanya pilihan di awal, sebelum transaksi disepakati. Penjual menawarkan harga a bila kontak dan harga b bila kredit. Tapi keduanya harus memutuskan sejak awal, bentuk mana yang mau dipilih.

Misalnya keduanya sepakat dengan harga b dengan dicicil, maka harga itu tidak boleh lagi diubah-ubah di tengah proses pencicilan. Kalau sudah sepakat dengan harga b, tidak boleh dinaikkan atau diturunkan lantaran kreditnya lebih cepat atau lebih lambat.

Karena itu jual beli secara kredit menjadi halal apabila terpenuhi beberapa hal berikut ini:

1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya: harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
3. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan)

Untuk lebih jelasnya agar bisa dibedakan antara sistem kredit yang dibolehkan dan yang tidak, kami contohkan dua kasus sebagai berikut:

Contoh Transaksi Kredit yang Dibolehkan

Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga Rp 12 juta. Karena Budi tidak punya uang tunai Rp12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil (kredit).

Untuk itu Ahmad minta harganya menjadi Rp 18 juta yang harus dilunasi dalam waktu 3 tahun. Harga Rp 18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal.

Contoh Jual Beli Kredit yang Haram

Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp 12 juta. Iwan membayar dengan cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan dia terkena bunga 2% dari Rp 12 juta atau dari sisa uang yang belum dibayarkan.

Transaksi seperti ini adalah riba, karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti (fix), tetapi harganya tergantung dengan besar bunga dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.

Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah SAW sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.

Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.

Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual beli kredit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman.

Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram. Imam Syaukani berkata, "Ulama Syafi''iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat."

3. Gadai

Dalam istilah fiqih, gadai dikenal dengan sebutan ar-rahn. Para fuqaha sepakat membolehkan praktek gadai ini, asalkan tidak terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. Di masa Rasulullah praktek rahn pernah dilakukan. Kita dapati banyak riwayat tentang hal itu dan salah satunya adalah hadits berikut ini.

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR Bukhari dan Muslim)

Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan.

Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).

Dari kedua hadits di atas, bisa kita simpulkanbahwa Rasullulah mengizinkan kita melakukan praktek gadai, bahkan dibolehkan juga buat kita untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan. Sebagai menutup biaya pemeliharaan.

Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.

Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta, perusahaanpemerintah, atau merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.

Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.

Misalnya seorang produser film dakwah membutuhkn biaya untuk memproduksi filmnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panennya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu pula ia tebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.

Unsur dan Rukun Rahn

Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memilikibeberapa unsur:

1. Pertama: Ar-Rahin

Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang

2. Kedua: Al-Murtahin

Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.

3. Ketiga: Al-Marhun/ Ar-Rahn

Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan

4. Keempat: Al-Marhun bihi

Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.

Rukun Gadai

Seangkan dalam praktek gadai, ada beberapa rukun yang menjadi kerangka penegaknya. Dintaranya adalah

1. Al-''Aqdu yaitu akad atau kesepaktan untuk melakukan transaksi rahn Sedangkan yang termasuk rukun rahn adalah hal-hal berikut:

2. Adanya Lafaz yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.

3. Adanya pemberi dan penerima gadai

Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.

4. Adanya barang yang digadaikan

Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada di bawah pengasaan penerima gadai.

5. Adanya Hutang

Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.

---

4. Hibah

yang berarti pemberian tanpa imbalan. Selanjutnya kata hibah dimaksudkan sebagai tindakan atau perbuatan memberikan sesuatu kepada orang baik berupa harta atau selain harta. Hibah mempunyai dua pengertian, secara umum hibah dapat diartikan memindahkan kepemilikan barang kepada orang lain ketika masih hidup. Arti hibah secara khusus adalah pemindahan kepemilikan suatu benda yang bukan suatu kewajiban pada orang lain ketika masih hidup dengan ījāb dan qabūl tanpa mengharapkan pahala atau kerena menghormati dan juga bukan karena menutupi kebutuhan

Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidāyatul Mujtahid meyebutkan bahwa rukun hibah ada tiga yaitu

a. Orang yang menghibahkan atau al-wāhib

b. Orang yang menerima hibah atau al-mawhūb lah

c. Pemberiannya atau perbutan hibah atau disebut juga dengan al-hibah.

---

Wakaf

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah (yang mengalirkan pahala terus-menerus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakan."Hadis tersebut yang dijadikan landasan anjuran untuk berwakaf, yaitu sedekah jariyah. Wakaf artinya menghentikan fungsi harta itu bagi pemilik asal sehingga tidak bisa dijual, dihadiahkan, ataupun diwariskan. Wakaf harus dipergunakan seoptimal mungkin sesuai akadnya. Misalnya, jika wakaf tanah untuk pembangunan rumah sakit, tidak boleh dipergunakan untuk yang lainnya.Secara tersurat memang tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa wakaf itu harus dalam bentuk barang atau benda, seperti tanah ataupun rumah. Hanya saja para ulama menyimpulkan dari kata-kata sedekah jariyah (yang mengalir terus) bahwa wakaf itu harus berbentuk benda yang tidak habis pakai dalam waktu sesaat, seperti wakaf dalam bentuk beras, makanan, ataupun barang-barang konsumsi lainnya

---
Transaksi Emas

pinjam emas kembali emas. Pinjam uang kembali uang. Pinjam dolar kembali dolar.

Sebab batasan syariah yang telah ditetapkan dalam urusan pinjaman alat tukar adalah tidak boleh ada kelebihan dalam pengembaliannya. Dan uang itu tidak boleh disewakan, berbeda dengan benda yang memang boleh disewakan.

Ketika seseorang meminjam uang 1 juta, maka ketika dikembalikan harus satu juta tanpa kelebihan satu rupiah pun. Walau mata uang mengalami penyusutan.

Sedangkan bila yang dipinjam berbentuk benda, bulan alat tukar menukar, dibolehkan dengan tambahan saat pengembaliannya. Akad itu dinamakan sewa menyewa. Misalnya anda meminjamkan motor untuk sehari, setelah itu motor itu dikembalikan dengan tambahan bensin penuh di tanki. Ini bukan pinjaman riba, tapi ini akad sewa menyewa yang halal. Sebenarnya motor itu bukan dipinjamkan tapi disewakan, di mana uang sewanya adalah bensin sepenuh tankinya.

Sedangkan dalam urusan pinjaman alat tukar seperti uang, tidak boleh ada kelebihan dalam pengembaliannya, sebab alat tukar tidak boleh disewakan.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Al-Baqarah: 278)

Karena itulah maka dalam masalah pinjam meminjam uang dengan menggnakan mata uang yang rapuh seperti rupiah, kita harus ekstra hati-hati. Sebab kita terikat dengan haramnya riba nasi''ah di satu sisi, sementara di sisi lain kita bisa rugi karena kemerosotan nilai mata uang rupiah.

Solusinya adalah pindah ke mata uang lain atau langsung dalam bentuk emas. Tapi jangan dikurskan, melainkan harus berbentuk emas ketika diserahkan, juga harus berbentuk emas ketika dikembalikan. Dan emas termasuk benda yang tidak boleh disewakan. Sehingga pengembaliannya pun tidak boleh dengan kelebihan. Maka tidak boleh pinjam emas 100 gram, lalu dikembalikan menjadi 120 gram. Ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan.

Kalau pinjam emas 100 gram, maka pengembaliannya harus emas 100 gram juga. Tanpa kelebihan. Ini adalah akad yang halal.

---

Dalil Jual Beli

Qs Al Baqarah : 282

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

---

Keutamaan sedekah :

Qs Al Baqarah : 245

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan serta melapangkan (rejeki) dan kepadaNyalah kamu dikembalikan

---

Qs Al Baqarah : 280

Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

---

QS Al Hadid : 11

Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut