29 April 2011

Pengajian Mahagoni Park Tanggal 28 April 2011

Event : Pengajian Mahagoni Park
Tanggal : 28 April 2011
Pembicara : Ustadzah Hj Lulung Umrulain
Tema : Fiqih Haid, Nifas, Wiladah, Istihadhoh, Jimak, Mandi Wajib

Keutamaan bersuci

Qs. al-Baqarah :222

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adl suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yg diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yg taubat dan menyukai orang-orang yg mensucikan diri.

---

Asbabun Nuzul ayat ini menurut Anas Bin Malik dalam buku Nailul Authar adl sebagai jawaban Nabi kepada para sahabatnya atas pertanyaan mereka tentang haidh dan kisah orang-orang Yahudi yg tidak mau makan bersama-sama istri mereka dan tidak mau tinggal bersama mereka dalam satu rumah selama masa haidhnya.

Bahwa wanita yg sedang datang bulan disebut sebagai dalam keadaan kotor sehingga hendaknya tidak dicampuri oleh suaminya tidak mengindikasikan bahwa wanita tersebut tidak boleh juga melakukan sholat. Ayat ini sekali lagi hanya bercerita mengenai hubungan sesama manusia dan bukan hubungan antara seorang hamba dgn Tuhannya.

---

Asal kejadian manusia

Qs Al Hajj : 5

Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah

---

Pentingnya pengetahuan

Qs Al Baqarah : 103

Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertaqwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.

---

Banyaklah berbuat baik untuk mengikis dosa dosa kecil

Qs Hud : 114

Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

---

Shalat Lima Waktu Menghapus Dosa

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,”seandainya ada sebuah sungai di depan rumah salah seorang dari kamu dan ia mandi disana lima kali sehari, apakah menurutmu masih akan ada kotoran yang tersisa di tubuhnya?” mereka berkata,”tidak akan ada sedikitpun kotoran yang tersisa di tubuhnya”, Nabi Muhammad Saw menambahkan,”ini adalah ibarat (mengerjakan) shalat lima waktu menghapus perbuatan yang jahat (dosa)”

---

Nasehat untuk wanita

Sabda Nabi SAW: "Dan aku melihat neraka, aku belum pernah melihat pemandangan seperti pemandangan hari ini sebelumnya. dan aku melihat kebanyakan penduduknya adalah wanita. para sahabat bertanya : kenapa wahai Rosulullah? beliau menjawab : karena kekufuran mereka. para sahabat berkata : karena kufur terhadap Allah? beliau bersabda : karena kekufuran mereka terhadap suami, dan kekufuran mereka terhadap kebaikan (suami). jika engkau berbuat baik kepada mereka sepanjang satu tahun, kemudian mereka melihat ada sedikit keburukan dalam dirimu, maka mereka akan berkata : saya tidak pernah melihat kamu berbuat baik sedikitpun." (HR Bukhori dan Muslim)

---

Definisi Haid

Secara etimologi (bahasa), haid berarti aliran atau sesuatu yang mengalir. Adapun pengertian haid dalam lingkup syariat (ajaran Islam) adalah darah yang mengalir dari dasar rahim seorang wanita usia akil balig, yang bukan darah persalinan atau sakit, dan terjadi pada harihari tertentu, dan dapat berulang pada periode (waktu) tertentu.

Waktu Haid

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jumlah hari terbanyak dari haid seorang wanita adalah lima belas hari. Untuk itu jika masih ada darah yang keluar setelah 15 hari maka darah tersebut dianggap sebagai darah Istihadhah (aliran darah yang keluar terus menerus karena penyakit). Selama darah istihadhah masih keluar maka seorang wanita tidak boleh berhenti untuk melaksanakan shalat dan puasa. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini. Ibnu Al-Mundzir mengatakan : "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya". Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah dan logika. Firman Allah Ta'ala. "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci..." . Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian.

Warna Darah Haid :

Darah yang keluar dari kemaluan dinyatakan sebagai darah haid jika warna darah tersebut adalah sebagai berikut :

1. hitam, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Nasa’I dari Aisyah r.ah bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengalami haid, maka Rasulullah saw pun berkata: “sesungguhnya darah haid itu telah diketahui berwarna hitam; jikalau. Jika memang demikian, berhentilah dari shalat.”

2. Merah, sebagai warna asli darah haid.

3. Kuning atau kekuning kuningan

4. Keruh, antara warna hitam dam putih atau kehitam hitaman

Aisyah berkata : Kalian jangan tergesa-gesa sebelum kalian melihat cairan putih

---

Tidak ada mengqodho shalat, yang ada hanya mengqodho puasa

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid mengerjakan shalat, baik fardlu maupun sunnat. Dan tidak diwajibkan bagi mereka untuk mengqadha atau mengganti shalat tersebut. Hal ini senada dengan hadits riwayat jama’ah (seluruh periwayat hadits), dari Mu’adzah berkata: “Saya bertanya pada Aisyah. Kenapa orang yang haid mengqadha puasanya sedangkan shalat tidak? Aisyah menjawab: “Begitulah apa yang kami alami bersama Rasulullah saw. Kami diperintahkan hanya mengqadha puasa saja dan tidah diperintakan mengqadha shalat.”

---

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini. Ibnu Al-Mundzir mengatakan : “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”. Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan logika.

1. Firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci …”.

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.

2. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah. “Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”. Kata Aisyah : “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”. Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah. “Artinya : Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”. Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.

3. Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur, jima’ , duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum Mu’minin. Firman Allah Ta’ala. “Artinya : ….. Dan kami turunkan kepadamu Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu ….”. “Artinya : ….. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi mebenarkan yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ….”. Oleh karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada atau tidaknya. Dalil ini -yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum-hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan : “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebuah haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah”.

4. Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan ‘illat haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapan belas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat ‘illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum diantara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam ‘illat ? Bukankah hal ini bertentangan dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam ‘illat ?

5. Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.

Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan, Inysa Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah”. Kata beliau pula : “Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka”.

Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu : mudah dan gampang.

---

Amalan Yang Dilarang Bagi Wanita Haid

a. Shalat
b. Puasa
c. Membaca Al Quran (terjadi perbedaan pendapat mengenai poin ini)
d. Menyentuh Al Quran

Qs Al Waqiah : 78-79

pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),

tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

---
e. Berdiam diri dalam masjid
f. Thawaf
g. Berhubungan badan

Qs Al Baqarah : 222

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adl suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yg diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yg taubat dan menyukai orang-orang yg mensucikan diri.

---

h. Thalaq
i. ‘Iddah dengan perhitungan bulan

Qs Al Baqarah : 228

---

hukum nifas sama seperti haid, baik itu yang menyangakut hal – hal yang wajib, haram maupun yang digugurkan.

j. Apabila haid berhenti, diperbolehkan untuk shalat dan puasa. Akan tetapi tidak diperbolehkan terhadap selain dari keduanya kecuali setelah mandi. Maka tidak berlaku baginya empat hukum yang berkenaan dengan haid :

1. terhapusnya kewajiban shalat

2. adanya halangan yang disebabkan oleh tidak sahnya thaharah karena haid

3. larangan mengerjakan puasa

4. diperbolehkan thalaq

k. Boleh bercumbu tapi tidak boleh bersetubuh

l. Kafarat bagi istri yang haid yang disetubuhi suaminya, kafaratnya setengah dinar emas murni dalam bentuk apapun. Kafarat haid dan nifas sama.

m. Wanita hamil tidak mengalami masa haid

n. Istri yang istihadhah yang disetubuhi suaminya, boleh disetubuhi, akan tetapi, ia juga diperbolehkan untuk meninggalkan shalat dan tidak bersetubuh.

o. Apabila sorang wanita lupa atas hari haidnya, maka ia boleh mandi setelah enam atau tujuh hari dan selanjutnya boleh puasa dan shalat.

p. Wanita yang baru menjalani haid, ia harus memperhatikan lama keluarnya haid, agar bisa menentukan berapa lama Ia haid dan waktu berikutnya adalah darah istihadhah.

q. Menjamak antara dua shalat, diperbolehkan bagi wanita yang istihadhah.

r. Usia minimal keluarnya haid, usia terendahnya adalah sembilan tahun

s. Usia maksimal keluarnya haid, Usia maksimalnya adalah 50 tahun, jika darah keluar pada usia tersebut dalam hal ini ada dua penjelasan :

1. Hal itu dianggap sebagai proses sirkulasi darah yang mengalami kerusakan.

2. Apabila mengalir berulang – ulang, maka ia termasuk haid.

---

istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan kewajaran, karena sakit atau semisalnya.
Bila seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti, maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan.

1. Apabila sebelum mengalami hal tersebut ia memiliki kebiasaan (‘adah) haid maka ia kembali pada kebiasaannya (‘adah-nya). Ia teranggap haid di waktu-waktu ‘adah tersebut, adapun selebihnya berarti istihadhah. Selesai masa ‘adah-nya ia mandi dan boleh melakukan ibadah puasa dan shalat (walau darahnya terus keluar karena wanita istihadhah pada umumnya sama hukumnya dengan wanita yang suci, pent.).

2. Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan darahnya bisa dibedakan, di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau busuk itu adalah darah haid. Yang selainnya adalah darah istihadhah.

3. Apabila si wanita tidak memiliki ‘adah dan tidak dapat membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (di masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini. Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali ingin menunaikan shalat.”

---

NIFAS

1. Definisi Nifas : nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran anak. Hukum yang berlaku pada nifas adalah sama seperti hukum haid, baik mengenai hal-hal yang diperbolehkan, diharamkan, diwajibkan, maupun dihapuskan. Masa nifas adalah 40 hari.

2. Keguguran : Apabila janin sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar sesudahnya adalah darah nifas. Adapun jika janin belum berbentuk, maka tidak dikategorikan sebagai darah nifas dan baginya shalat dan puasa.

3. Melahirkan Dua Anak : Masa nifasnya dimulai dari kelahiran anak pertama. Batas minimalnya tidak ditentukan dan batas maksimalnya adalah 40 hari.

4. Amalan Yang Diharamkan : Bagi wanita yang haid maka itu yang diharamkan oleh wanita yang nifas.

5. Amalan Yang Mubah Bagi Wanita Haid dan Nifas :

a. Bercumbu pada bagian – bagian selain kemaluan

b. Berdzikir kepada Allah Ta’ala

c. Ihram, wuquf di Arafah, semua amalan haji dan umrah selain thawaf

d. Makan dan minum bersama

6. Amalan Yang Boleh Dilakukan Wanita Haid dan Nifas

a. Mencukur rambut dan memotong kuku

b. Pergi ke pasar

c. Menuntut ilmu

d. Berdzikir

e. Membaca hadits, dll.

7. Apabila Keluar Darah Setelah Bersuci Lima Belas Hari

Apabila darah keluar selama satu hari satu malam, setelah bersuci pada hari ke lima belas ( setelah masa nifasnya selesai ), maka itu dianggap darah haid. Akan tetapi, bila kurang dari satu hari satu malam, maka darah itu dianggap darah kotor dan boleh mengerjakan shalat dan puasa.

8. Thalaq dan ‘Iddahnya wanita Nifas

‘Iddah berlaku terhitung sejak dijatuhkannya thalaq, tanpa dipengaruhi oleh masa nifas, ini jika thalaq terjadi sebelum proses melahirkan, maka seorang istri harus menungu sampai datangnya masa haid berikutnya.

---

Kafarat

Berasal dari kata dasar kafara (menutupi sesuatu). Artinya adalah denda yang wajib ditunaikan yang disebabkan oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia maupun di akhirat. Kafarat merupakan salah satu hukuman yang dipaparkan secara terperinsi dalam syariat Islam.

Ada bermacam-macam kafarat dalam Islam yang bentuknya berbeda sesuai dengan perbedaan pelanggaran (dosa) yang dilakukan. Perbuatan-perbuatan dosa yang dikenakan kaafarat tersebut antarta lain :

1. melanggar sumpah

2. melakukan jimak (hubungan suami istri) di siang hari pada bulan Ramadhan

3. men-zihar istri (seorang suami menyatakan bahwa punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)

4. mempergauli istri ketika sedang melaksanakan ihram di Makkah.


Kafarat sumpah, para ulama membedakan sumpah tersebut dalam sumpah lagw (sia-sia) seperti ucapan seseorang yang dilontarkan tanpa tujuan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak dianggap sebagai sumpah yang harus dikenai denda kafarat. Ada pula sumpah qumus yakni sumpah dusta dan mengandung unsur pengkhianatan. Sumpah seperti ini tidak dikenakan kafarat menurut jumhur ulama karena hukumannya lebih besar dan berat dari kafarat. Sumpah mun'aqidah yaitu sumpah yang dilakukan seseorang bahwa ia akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang atau tidak melakukan sesuatu, namun sumpah itu dilanggarnya. Bentuk sumpah ini dikenai kafarat sumpah sebagaimana difirmankan dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 89 yakni memberi makan 10 orang miskin, memberi pakaian mereka aatau memerdekakan budak. Jika si pelanggar sumpah tidak sanggup melaksanakan kafarat tersebut, ia harus berpuasa selama tiga hari.

Kafarat zihar, yaitu ucapan menyamakan punggung ibu dengan punggung istri. Hukumannya menurut QS Al-Mujahadah ayat 3 dan 4 adalah memerdekakan budak; jika tidak sanggup, berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin. Jumhur ulama sepakat bahwa kafarat zihar ini dengan urutan seperti yang ada dalam ayat itu, tanpa ada kebolehan memilih atau mengganti-ganti urutan tersebut. Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Mazhab Maliki berpendapat bentuk-bentuk hukuman tersebut merupakan tiga alternatif yang boleh dipilih tanpa terikat dengan tertib yang ada dalam ayat. Boleh saja yang dua didahulukan kalau kemaslahatan menghendaki demikian.

Kafarat bagi suami yang melakukan jimak (persetubuhan) pada saat ihram atau pada siang hari puasa Ramadhan. Kafaratnya adalah dengan memerdekakan budak, puasa berturut-turut selama dua bulan atau memberi makan kepada 60 orang miskin. Dasar hukum dari kafarat jimak ini adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jemaah dari Abu Hurairah.Dari berbagai ayat dan hadis tentang kafarat tersebut terlihat bahwa tujuan kafarat adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, di samping juga memerdekakan budak, dalam arti bukan untuk menanggung resiko fisik sebagaimana yang terdapat dalam hukuman-hukuman hudud atau kisas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut