12 Juni 2012

Seminar Saatnya Indonesia Bangkit Berakhlaq Tema : Fenomena Pudarnya Moralitas Masyarakat Dan Penyelenggara Negara Serta Upaya Pemecahannya

Event : Seminar Saatnya Indonesia Bangkit Berakhlaq
Tema : Fenomena Pudarnya Moralitas Masyarakat Dan Penyelenggara Negara Serta Upaya Pemecahannya
Tanggal : 9 Juni 2012
Pembicara : Dr. Ir. H. Nana Rukmana D.W., MA

I. Latar Belakang Masalah.

Pembangunan Nasional pada prinsipnya harus dilaksanakan dalam kerangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya sekedar mengejar kemajuan lahiriah saja melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya yaitu kebahagiaan lahir dan bathin. Oleh karena itu iman dan taqwa (Imtaq) harus diposisikan diatas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)1, sehingga dapat menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan bangsa dan negara. Dalam upaya mencapai sasaran pembangunan tersebut, maka keseimbangan, keselarasan dan keserasian harus dicerminkan pula dalam sosok pribadi bangsa Indonesia, yang ditunjukkan dengan adanya keselarasan hubungan antara manusia dan penciptanya (Hablumminalloh), dan hubungan antara sesama manusia (hablumminannas). Dengan perkataan lain, setiap peribadi harus seimbang2 dalam membina hubungan secara vertikal dengan sang pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa dan secara horizontal dengan sesama manusia. Namun demikian realita dilapangan terjadi ketidak seimbangan yang mengakibatkan munculnya berbagai persoalan dalam pelaksanaan pembangunan khususnya menyangkut krisis moralitas atau krisis sosial kultural, yang dapat dilihat dari beberapa gejala umum, antara lain berkembangnya krisis etika profesi, korupsi, kolusi, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta krisis perilaku dalam sistem kehidupan yang merugikan hajat hidup orang banyak. Disamping itu terjadi pula pergeseran nilai dan perilaku dalam hubungan sosial antar sesama yang menyebabkan tererosinya kesalihan individual dan kesalihan sosial dalam kehidupan masyarakat3.
Perilaku korupsi yang marak akhir-akhir ini mengesankan seolah-olah perilaku korupsi ini sudah menjadi bagian dari kebudayaan yang sangat sulit untuk diberantas. Korupsi telah kehilangan essensi sebagai kebobrokan moralitas. Hampir seluruh pemaknaan terhadap istilah ini mengalami kemerosotan pemahaman yang sangat signifikan, sehingga korupsi tidak dilihat lagi sebagai permasalahan kemerosotan moral atau perbuatan tercela. Korupsi yang dipaparkan dalam angka tidak lagi berarti apa-apa, karena essensi perbuatan tercela telah berubah menjadi korupsi nominal atau memberikan toleransi terhadap angka-angka statistik tertentu. Kalau ukurannya moralitas, seberapapun nilai statistik dari angka korupsi itu harus dilihat sebagai perbuatan tercela yang diancam dengan hukuman.

II. Indikasi Penyebab Masalah.

Kecenderungan krisis moral dan spiritual dalam beragam bentuknya itu tampaknya merupakan bagian yang tak terpisahkan dan sekaligus ongkos sosial yang harus dibayar mahal oleh perubahan sosial menyeluruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang diakibatkan oleh pembangunan dan modernisasi yang makin cepat di tengah globalisasi kehidupan yang semakin terbuka dewasa ini. Dalam proses pembangunan atau modernisasi kehidupan yang berorientasi pada ekonomi, rasional dan mekanistik, di dalam masyarakat muncul perkembangan baru berupa lahirnya kebudayaan indrawi yang materialistik dan sekularistik. Sementara itu perkembangan moral dan spiritual mengalami pelemahan, kalaupun masih tumbuh, ia tidak seimbang atau bahkan tertinggal jauh dari perkembangan yang bersifat fisik, materi dan rasio. Dunia materi lebih maju pesat dibandingkan dunia spiritual, atau dengan kata lain kebudayaan immaterial kalah cepat oleh laju kebudayaan materi. Kalau kita cermati konsep pembangunan nasional, ditandai oleh pembangunan fisik yang sangat pesat, namun disisi lain ternyata banyak kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa harus menjadi korban pembangunan terutama orang-orang pinggiran. Implikasi dari pembangunan yang menelan korban di berbagai daerah itu, tidak semuanya memicu kerusuhan, tapi ketidak puasan yang terpendam itulah yang justru menemukan salurannya dalam krisis-krisis besar. Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah berupa pembakaran mobil-mobil serta pelemparan dan pembakaran kantor Bupati merupakan puncak radikalisasi akibat ketidak puasan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kota khususnya tentang kebijakan di bidang perburuhan.
Protes masyarakat ini seringkali juga dipicu oleh peristiwa sepele yang menunjukkan tiadanya kepekaan baik dikalangan investor maupun pemerintah daerah. Pada Juni 1987,pernah terjadi sebuah rumah makan di puncak tetap diresmikan oleh pemerintah meskipun telah mendapat kecaman masyarakat karena lokasinya menggusur taman tempat dulu diselenggarakan upacara-upacara tradisional. Kasus demi kasus terus berlanjut, sehingga muncul fenomena baru yang mengatakan pembangunan hampir identik dengan penggusuran. Kepentingan masyarakat luas ternyata banyak sekali yang diabaikan, padahal seharusnya pembangunan itu ditujukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat bukan hanya segelintir masyarakat atau kelompok sosial dilapis atas saja.

III. Pendekatan Multidimensional Dalam Pemecahan Krisis Moralitas.

Pada initinya terdapat enam hal yang harus dilakukan dalam upaya pemecahan krisis moralitas yang terjadi di lingkungan masyarakat dan penyelenggara negara, yakni Pertama, meluruskan tata nilai masyarakat; Kedua menggugah hati nurani agar merasa malu berbuat salah; Ketiga, pemenuhan kebutuhan dasar manusia; Keempat, setiap individu atau kelompok berperilaku sesuai harapan kelompok sosialnya yang digariskan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan; Kelima, para pemimpin (formal dan tokoh masyarakat) harus dapat memberikan keteladanan kepada masyarakat/umatnya; Keenam, Reorientasi Konsep Pendidikan Nasional sebagai upaya preventif untuk memecahkan krisis moralitas jangka panjang.

3.1. Meluruskan Tata Nilai Masyarakat

Tata nilai masyarakat saat ini lebih menghargai seseorang dari sisi aspek materi semata, dengan mengabaikan proses perolehannya. Tata nilai masyarakat yang menghargai materi ini antara lain sebagai dampak keberhasilan pembangunan yang terlalu diorientasikan pada bidang ekonomi yang mengabaikan eksistensi harkat dan martabat manusia. Semangat membangun lebih diorientasikan pada pencapaian target fisik yang akhirnya menumbuhkan sikap mental yang lebih menghargai materi, benda, sarana dan prasarana secara kuantitatif, dengan mengabaikan bagaimana proses pencapaian itu dilakukan, apakah melalui jalan yang sesuai dengan prosedur yang berlaku atau tidak. Budaya masyarakat pun akhirnya hanya menghargai orang kaya tanpa melihat dan mempertimbangkan bagaimana cara orang kaya tersebut memperoleh kekayaannya. Padahal ditinjau dari sisi agama, banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur’an tentang larangan bermewah-mewahan. Salah satu ayat di dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan indah pada pandangan manusia serta kecintaan kepada apa-apa yang diingininya, yaitu kesenangan terhadap perhiasan dunia. Padahal itu semua merupakan cobaan hidup. Oleh karena itu janganlah perhiasan dunia itu lebih dicintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad dijalan-Nya ( Q.S. 003:014 ; 018:046 ; 008:028). Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah mengingatkan tentang kehancuran umat-umat terdahulu disebabkan oleh banyaknya mengumpulkan harta dan terlalu mencintainya untuk hidup mewah dan melupakan akhirat. Oleh karena itu janganlah berbangga-bangga terhadap banyaknya harta dan anak atau mencintai harta secara berlebihan, karena harta itu tidak dapat menolak siksa Allah kepadanya. (Q.S. 028: 077-078 ; 034: 034-037 ; 057: 020 ; 089: 020 ; 003: 010). Allah SWT juga mengancam manusia yang lalai terhadap makna hidup dan yang hidup bermegah-megahan (Q.S. 102: 001 – 008). Dalam hal pemanfaatannya juga Allah SWT mengingatkan akan adanya kecelakaan yang besar bagi penimbun barang atau harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah (Q.S. 104: 001 – 009). Adzab Allah bagi orang-orang yang menghabiskan hartanya untuk berfoya-foya (Q.S. 046: 020).
Bagi pelaku yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tidak bermoral pada akhirnya akan kehilangan rasa malu dan rasa bersalah dalam melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan niilai-nilai moral dan agama karena seolah-olah sejalan dengan tata nilai masyarakat yang ada. Apalagi kalau kesalahan itu dilakukan oleh orang banyak maka kesalahan itu tidak dianggap lagi sebagai suatu kesalahan, padahal mungkin saja satu orang itulah yang benar diantara seratus orang yang menyetujui terhadap suatu perilaku dan perbuatan tertentu. Rosululloh SAW pernah bersabda bahwa ada empat golongan manusia dilihat dari perilaku dalam lingkungannya, pertama orang yang baik berada dalam lingkungan yang jelek; kedua, orang yang baik berada dalam lingkungan yang baik; ketiga orang yang buruk akhlaqnya berada dalam lingkungan yang buruk; keempat, orang yang buruk akhlaqnya berada dalam lingkungan yang baik. Kelompok pertama, tidak perlu diragukan lagi kebaikannya; kelompok kedua, masih harus di uji apakah dirinya benar-benar baik atau hanya berpura-pura karena berada dalam lingkungan yang baik; kelompok ketiga, masih harus diuji apakah orang itu benar-benar buruk akhlaqnya atau karena terdorong oleh lingkungannya; kelompok terakhir, tidak perlu diragukan lagi bahwa orang tersebut buruk akhlaqnya.

3.2. Transformasi Peran Agama Dalam Menyentuh Hati Nurani.

Kekuatan moral dan spiritual ini pada prinsipnya dapat ditingkatkan kualitasnya melalui pembinaan agama, sehingga mampu menyentuh sesuatu yang sangat asasi yakni hati nurani. Dengan menyentuh hati nurani diharapkan seluruh tata nilai yang terkandung dalam ajaran agama dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan pula dengan pendapat Hurlock (1992) yang menekankan pada peran hati nurani serta peran rasa bersalah dan rasa malu dalam melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan harapan kelompok sosial. Harapan kelompok sosial dalam masyarakat religius seperti Indonesia tentunya sangat diwarnai oleh norma-norma agama.4
Setiap individu memiliki potensi yang bersemayam di dalam qalbu yakni potensi kesadaran moral, kesadaran estetis, kesadaran transedental dan kesadaran intelektual. Potensi-potensi tersebut, terutama potensi kesadaran moral dan estetis perlu dikembangkan melalui pendekatan agama agar dapat menjadi polisi internal yang tanpa henti-hentinya mengamati kegiatan individu dan memberikan peringatan keras apabila ia menyimpang dari norma-norma agama, adat maupun budaya setempat. Suara hati nurani ini merupakan standard internal yang dapat mengendalikan perilaku individu.
Dalam upaya meningkatkan kualitas moralitas ini peran agama juga sangat penting dalam menggugah perasaan bersalah dan rasa malu terhadap diri sendiri dan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, apabila perilaku individu tersebut tidak sesuai dengan norma-norma agama, adat dan budaya5. Rasa bersalah ini merupakan upaya evaluasi diri bila perilakunya menyimpang dari nilai moral yang seharusnya dilaksanakan oleh individu tersebut. Sebagai akibat dari perasaan bersalah tersebut seharusnya timbul rasa malu atas perilakunya. Rasa malu ini merupakan “reaksi emosional” yang tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Oleh karenanya rasa malu ini hanya bergantung pada sanksi eksternal saja, walaupun mungkin saja secara internal disertai rasa bersalah. Rasa bersalah ini tentunya tergantung dari sensitifitas hati nurani terhadap sanksi internal dan eksternal sebagai implikasi keyakinannya terhadap norma-norma agama yang dianut.

3.3. Keteladanan Pemimpin.

Dalam upaya merealisasikan konsep-konsep pemikiran sebagaimana dikemukakan diatas, yang paling penting adalah faktor keteladanan para pemimpin, mengingat orientasi masyarakat dan budaya bangsa kita masih bersifat partenalistik. Hampir seluruh responden survei yang dilakukan Marketing Research Indonesia (MRI) sependapat bahwa kejujuran dan keteladanan merupakan kunci dalam penyelesaian krisis moralitas KKN di Indonesia. Faktor keteladanan ini sangat penting karena bagaimanapun upaya pembinaan moral dan spiritual diberikan kepada staf, apabila perilaku pimpinannya tidak sesuai dengan ucapan serta peraturan-peraturan yang dibuatnya, maka upaya pembinaan moral ini tidak akan berjalan efektif. Ibarat membersihkan air, kalau air dihulunya kotor, maka betapapun kita berusaha membersihkan air dihilir, maka suatu saat akan kotor kembali. Tetapi sebaliknya kalau air di hulu nya bersih, betapapun kotornya air di muara, suatu saat akan bersih juga. Dalam konteks peningkatan moral dan etika aparatur negara ini prinsip keteladanan harus tetap mencerminkan budaya bangsa yang religius, kebersamaan, kekeluargaan, kehidupan dalam keselarasan, keserasian dan keseimbangan, serta persatuan dan kesatuan. Suatu hal yang sangat penting difahami bahwa erosi keteladanan ini sangat dipengaruhi oleh melunturnya kadar keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang implikasinya dapat menurunkan kadar kejujuran, kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu seyogyanya dalam upaya mengaktualisasikan keteladanan ini adalah menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara melaksanakan syariat ajaran agama yang dianut oleh masing-masing aparatur negara khususnya para pemimpin bangsa agar dapat secara langsung ditauladani oleh masyarakat.

3.4. Reorientasi Konsep dan Kurikulum Pendidikan Nasional.

Pada prinsipnya pendidikan berlangsung melalui kesatuan-kesatuan tempat dan kesatuan-kesatuan hubungan seperti keluarga, sekolah, masjid, pondok pesantren, masyarakat (forum pertemuan, forum arisan, forum pengajian, forum diskusi, seminar, lokakarya, media cetak dan elektronik, tempat kerja, dan hubungan-hubungan lainnya, baik lokal, nasional maupun internasional). Oleh karena itu perlu menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat6. Konfigurasi dari semua komponen masyarakat ini akan mengalami perkembangan dan perubahan yang dampaknya terhadap subyek didik seringkali tidak selalu seperti yang diharapkan. Dengan demikian, pendidikan perlu memperhatikan konfigurasi ini dengan cara merumuskan rambu-rambunya. Melalui penemuan rambu-rambu ini diharapkan dapat terwujud peribadi yang beriman dan bertaqwa serta menguasai lmu pengetahuan dan teknologi.
Sekolah umum dan pesantren sebagai sarana pendidikan seharusnya berfungsi juga sebagai lembaga untuk menyeleksi dan memilih manusia yang berkualitas dalam pengertian berbakat, trampil dan mampu, sehingga masyarakat berkembang ke arah kondisi yang bermanfaat, dan dapat memenuhi kondisi masyarakat yang dipersyaratkan untuk masa depan7. Namun demikian, dunia pendidikan atau keilmuan kita saat ini lebih banyak memusatkan perhatiannya pada dimensi pengajaran terutama menyangkut administrasi dan kurikulum pengajaran. Sedangkan aspek mendasar dari sistem pendidikan itu sendiri yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlaq mulia, seringkali terabaikan.
Kalau kita amati sistem pendidikan Barat sampai saat ini nampaknya lebih menekankan pada aspek penalaran dan rasionalitas, sehingga membawa implikasi pada keengganan menerima hal-hal yang tidak dapat ditampilkan secara observasional, sikap menjauhi hal-hal yang sifatnya Illahiah. Hal ini sebagaimana pula dikemukakan oleh Bogen, seorang ahli neurologi Amerika, bahwa dunia barat saat ini sedang mengalami semacam buta huruf otak sebelah kanan.8 Pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah di Negara-Negara Barat lebih menggunakan otak sebelah kiri dan menganaktirikan belahan otak sebelah kanan. Hal ini sebenarnya dapat dirasakan pada penekanan berfikir yang analitik, saintifik dan rasional sedangkan berfikir holistik, berfikir metaforik, dan berfikir non analitik lainnya kurang memperoleh tempat dalam kegiatan pendidikan di Barat9. Seharusnya, peribadi yang ideal adalah peribadi yang mampu menggunakan akal pikiran, dalam artian memfungsikan kedua belahan otak dan memfungsikan hati sanubari (heart) secara seimbang. Hal ini penting mengingat IQ yang tinggi belum tentu menghasilkan sukses dalam kehidupan seseorang. Bahkan justru mereka yang sering berhasil dalam kehidupanya adalah mereka yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi. Oleh karena itu sosok peribadi yang seimbang juga harus ditunjukkan dengan dimilikinya keseimbangan intelektual dan emosional.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional itu harus berdiri di atas kecerdasan ruhaniah, sehingga potensi yang dimilikinya menghantarkan diri kepada kemuliaan akhlak.10 Hal ini sebagaimana juga dikemukakan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall bahwa kecerdasan ruhaniah (Spiritual Intelligence) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan Intellektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi.11 Kecerdasan ruhaniah dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati, dan beradaptasi.12 Sedangkan Ary Ginanjar Agustian lebih menekankan kecerdasan spiritual sebagai hubungan manusia dengan Tuhan sedangkan kecerdasan emosi merupakan hubungan manusia dengan manusia, sehingga perlu konsep sinergi antara keduanya dengan memperkenalkan konsep ESQ (Emotional and Spiritual Quotient).13
Munculnya pelbagai fenomena pengabaian dimensi mendasar (EQ dan SQ) dari pendidikan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Landasan dunia pendidikan lebih mendasarkan pada filsafat materialisme dan aliran positivisme14. Dua faham tersebut bukan hanya telah mencemari bidang-bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya, namun telah pula merasuki dunia keilmuan (pendidikan)

2. Filosifi dunia pendidikan sudah menyimpang dari jiwa kemanusiaan yang hakiki15.

3. Kuatnya intervensi birokrasi di tingkat pusat dalam dunia pendidikan, sedikit banyak telah mereduksi ruang-ruang kreativitas dan imajinasi kemanusiaan di lingkungan dunia pendidikan16.

Akibat ketiga hal tersebut, produk pendidikan lebih banyak melahirkan manusia-manusia robot dan mekanis ketimbang manusia yang imajinatif, kreatif dan berbudaya. Munculnya fenomena kejahatan akademis, tawuran pelajar dan banyak lainnya adalah akibat tidak langsung dari kuatnya tekanan negara yang kapitalistik dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu nampaknya perlu diadakan kaji ulang mengenai masalah-masalah mendasar dari dunia pendidikan kita. Seharusnya pendidikan di negara kita difungsikan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki perilaku, nilai dan norma sesuai sistem yang berlaku sehingga mewujudkan totalitas manusia yang utuh dan mandiri sesuai tata cara hidup bangsa. Dalam hal ini sekolah dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah.17 Pemerintah perlu menetapkan rambu-rambu yang tepat agar tujuan pendidikan untuk mewujudkan peribadi-peribadi yang seimbang dapat diwujudkan.
Dalam upaya merumuskan rambu-rambu tersebut harus tetap disadari bahwa masalah pendidikan pada dasarnya merupakan masalah yang tidak pernah tuntas untuk dibahas, karena menyangkut persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah moral kepada eksistensi fitrinya. Oleh karena itu pendidikan seharusnya bertujuan untuk memberikan bekal moral, intelektual, dan ketrampilan agar peserta didik siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.18 Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka seharusnya kurrikulum pendidikan disusun sebaik mungkin agar setiap peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ada dalam setiap qalbunya yakni potensi Transedental, Intelektual, Moral, dan Estetis. Manusia-manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan kurrikulum yang memperhatikan keempat potensi tersebut diharapkan dapat menjadi manusia yang memiliki kejujuran intelektual serta tanggung jawab profesional. Dengan demikian perlu ada perubahan system pendidikan nasional yang dapat menggerakkan berfungsinya kedua belahan otak sehingga dapat menggerakkan otak dan seluruh peribadi manusia dari dalam (from within).

IV. Kesimpulan.

Sebenarnya akar masalah dari krisis moralitas/krisis sosial kultural saat ini adalah moral dan system. Pembinaan moral ini sangat penting karena menyangkut tata nilai yang sudah membudaya di masyarakat sehingga kesalahan yang dilakukan oleh orang banyak tidak nampak lagi sebagai suatu kesalahan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu pembinaan moral dan pembangunan mental (mental building) kepada masyarakat sangat diperlukan, khususnya melalui lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan formal dan penyuluhan langsung kepada masyarakat. Kekuatan moral/spiritual yang ada pada diri manusia harus terus ditingkatkan kualitasnya melalui peningkatan kesadaran beragama, sehingga mampu menyentuh sesuatu yang sangat asasi yakni hati nurani. Dengan menyentuh hati nurani ini diharapkan seluruh tata nilai yang terkandung dalam ajaran agama dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu nuansa-nuansa moralitas dan spiritualitas perlu diintegrasikan dalam berbagai kurikulum pendidikan formal, pendidikan dan latihan (Diklat), serta berbagai kegiatan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat. Seharusnya ajaran agama tidak hanya komitmen dengan upaya penyalehan individu, tetapi juga penyalehan sosial. Dalam upaya penyalehan sosial ini setiap ajaran agama di Indonesia harus mengembangkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati. Komitmen penyalehan individu dan sosial ini merupakan perspektif etis ajaran agama yang dapat bahkan harus dijadikan basis bagi pengembangan berbagai sistem penyelenggaraan pembangunan. Namun demikian kita menyadari bahwa perspektif etis agama itu hanya bersifat moral, yang tidak memiliki daya paksa dan kekuatan mengikat secara konkrit, kecuali kesadaran individu terhadap keyakinan agamanya. Oleh karena itu nilai-nilai ajaran agama secara konkret harus diaktualisasikan dan diformulasikan dalam seluruh sistem tata kehidupan masyarakat, sehingga dapat mengarahkan perilaku hidup dan kehidupan seluruh lapisan masyarakat sesuai norma-norma universal ajaran agama. Dalam hal ini peran sentral masjid dan lembaga-lembaga keagamaan sebagai pusat pembinaan umat sangat penting untuk mengarahkan perilaku individu umatnya dalam kerangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar memiliki akhlak yang mulia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Umar, Ibnu Mahali, Sucikan Hati Teguhkan Jiwa, Media Insani, Yogyakarta, 2001
Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Penerbit Arga, Jakarta, 2001
Al-Ghazali, Keajaiban-Keajaiban Hati, Karisma, Bandung, 2000
Al-Jauziah, Ibnu Qayyim, Keajaiban Hati, Pustaka Azzam, Jakarta, 1999
Amin, Masyhur (Ed.), Moralitas Pembangunan, Perspektif Agama-agama di Indonesia, 2000
Asy-Syarabaasyi, Ahmad, DR., Dialog Islam, Penerbit Zikir, Surabaya, 1997.
As-Sisi, Abbas, Sentuhan Hati Penyeru Dakwah, Al-I’tishom Cahaya Umat, Jakarta, 2001
Azwar, Saifuddin, Drs., MA, Sikap manusia, Teori dan Pengukuranya, Edisi ke 2, Cetakan ke III, Pustaka Pelajar, 1998.
Bahaudin, Taufik, Brainware Management, Generasi Kelima Manajemen Manusia, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 1999.
Chaplin, J.P., Kamus lengkap Psikologi, Terjemahan Dr. Kartini Kartono, Rajawali Pers, Jakarta, 1999.
Effendi, Firdaus, MM, Ph.D., Sukidi Imawan, Khamami Zada (Ed.), Nilai & Makna Kerja dalam Islam, Nuansa Madani, Jakarta, 1999
Hadhiri, Choiruddin, SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey, Theories of Personality, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta, 1993
Hernowo dan M. Deden Ridwan (Ed.), Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhiid, Penerbit Mizan bekerja sama dengan Penerbit Hikmah dan Daarut Tauhiid, Bandung, 2001.
Hurlock, Elizabeth B., Child Development, Mc. Graw-Hill, New York, 1978.
Ilyas, Yunahar, Drs., Lc., M.A., dan Muhammad Azhar, M.A., (Ed.), Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, LPPI, Yogyakarta, 1999.
Luth, Thohir, DR., M.A., Antara Perut dan Etos Kerja Dalam Perspektif Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
Muhammad At-Tamimi, Abuya Syeikh Imam Ashaari, Mengenal Diri Melalui Rasa Hati, Giliran Timur, Jakarta, 2001.
Muhammad Yusuf, Husain, Strategi Dakwah Rasululloh, Membedah Konsep, Kepemimpinan, Kaderisasi & Etika Dakwah Nabi, Pustaka Rido, Bandung, 2000.
Mujib, Abdul, M.Ag., Fitrah & Kepribadian Islam, Sebuah Pendekatan Psikologi, Darul Falah, Jakarta, 1999.
Musawi Lari, Sayid Mujtaba, Menumpas Penyakit Hati, Penerbit Lentera, Jakarta, 2000.
Muthahhari, Murtadha, Fitrah, Penerbit Lentera, Jakarta, 1998

Nashori, Fuat (Ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islam, Cetakan kedua, SIPRESS,1994
Rukmana D. W., Nana, Ir., MA., Tuntunan Praktis Sistematika Dakwah, Puspa Swara, Jakarta, 1996
Rukmana D.W., Nana, Ir., MA, Pendayagunaan Aparatur Melalui Pendekatan Moral dan Spiritual, BKDI, 1998
Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta, 1982.
Semiawan, Conny R., Pendidikan: Peningkatan Kemampuan Manusia, Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin, Grasindo, Jakarta, 1999
Semiawan, Conny R, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Grasindo, Jakarta,1997
Suryabrata, Sumadi, BA, Drs., MA, EdS, Ph.D., Psikologi Kepribadian, Cetakan kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Suharsono, Mencerdaskan Anak, Mensintesakan Kembali Intelegensia Umum (IQ) dan Intelegensia Emosional (IE) dengan Intelegensi Spritual (IS), Inisiasi Press, Cetakan II, Jakarta, 2001.
Tasmara, Toto, Kecerdasan Ruhaniah (Transcedental Intelligence), Gema Insani, Jakarta, 2001
Umaedi, Drs., M.Ed., Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Sebuah Pendekatan Baru Dalam Pengelolaan Sekolah Untuk Peningkatan Mutu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Jakarta, 1999.
Zohar, Danah dan Ian Marshall, Memanfaatkan Kecerdasan Apiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Penerbit Mizan, Bandung, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih
Sri Wahyuningsih

Pengikut